Politik di Balik Ampunan : Membaca Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto
DR. Pahrudin menelisik Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto-Ist/jambi-independent.co.id-
Simbol Kompromi Elite
Dalam sejarah politik Indonesia, Abolisi dan amnesti sering digunakan sebagai cara untuk memperkuat kekuasaan.
BACA JUGA:Ini Dia Daftar Lengkap Pengurus DPP PDIP 2025-2030
Amnesti digunakan oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencapai perdamaian dengan organisasi bersenjata. Sementara untuk mengoreksi ketidakadilan sistem hukum, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
Namun, keadaan sekarang berbeda. Jika amnesti kepada Hasto dan abolisi terhadap Tom Lembong dibuat karena kalkulasi politik antara penguasa dan elit politik, maka kita kembali ke masa ketika hukum hanya menjadi pelayan kekuasaan.
Jika ini benar, yang terjadi bukanlah penegakan hukum, tetapi politik dagang sapi: para politisi dan elit hukum saling bertukar janji demi stabilitas bangsa. Hukum hanya berfungsi sebagai pakaian formal yang menutupi persekongkolan elit.
Risiko Delegitimasi Institusi
Dalam dua situasi ini, penggunaan hak prerogatif Presiden Prabowo sangat signifikan untuk dicermati. Bukan hanya KPK atau kejaksaan yang akan kehilangan wibawa, hukum akan dilihat oleh masyarakat sebagai alat lentur yang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
BACA JUGA:Gak Berkutik! Kapolresta Jambi Tangkap Pelaku Curat Ini di Kamar Kost
Lebih dari itu, keyakinan terhadap demokrasi konstitusional akan menjadi lebih lemah. Penegakan hukum yang adil, imparsial, dan tidak pandang bulu adalah bagian penting dari demokrasi.
Kita sedang melangkah mundur ke era otoritarianisme baru dengan wajah demokrasi semu jika kekuasaan digunakan untuk mengintervensi proses hukum demi kepentingan politik sesaat.
Abolisi dan amnesti harusnya digunakan secara hati-hati, dengan pertimbangan yang transparan, akuntabel, dan sesuai kepentingan bangsa bukan demi melindungi kepentingan segelintir elite.
Dalam politik, abolisi dan amnesti sering kali bukan sekadar instrumen hukum, tetapi alat tawar-menawar kekuasaan. Hal ini mencerminkan bahwa hukum di Indonesia tetap berada dalam pusaran politik kekuasaan.
BACA JUGA:Ada-ada Saja! Perempuan Ini Ditangkap Gara-gara Bawa Anak 2 Tahun Pakai Koper
Kepentingan elektoral, stabilitas politik, dan konsolidasi elite menjadi faktor penentu lebih besar daripada prinsip keadilan hukum.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



