Menakar Kebijakan Fiskal Penyelamat Alam
Ilustrasi. Foto udara pemandangan Bukit Lawang, di Bahorok, Langkat, Sumatera Utara, kawasan yang menyimpan keaneragaman hayati. -ANTARA-
Risiko keberlanjutan
Tantangan terbesar Indonesia muncul dari dua sumber utama: konversi lahan dan ekstraksi sumber daya alam. Walaupun tren deforestasi menurun dibandingkan periode awal 2000-an, tekanan terhadap ekosistem gambut dan pesisir justru meningkat.
Ekspansi pertambangan nikel dan batu bara menciptakan tekanan baru terhadap bentang alam, sementara konversi lahan untuk pertanian ekspor dan infrastruktur menggerus habitat spesies endemik.
Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga fiskal. Setiap banjir bandang, kerusakan irigasi, kerugian pertanian, hingga meningkatnya konflik manusia-satwa berpotensi menciptakan pembengkakan pembiayaan negara yang seharusnya dapat dikurangi jika kerusakan dicegah sejak awal.
Dalam konteks ini, pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati dapat memberi koreksi struktural. Skema pajak yang menghitung tingkat kehilangan jasa ekosistem akan membuat industri memperhitungkan biaya lingkungan sebagai bagian dari biaya produksi.
Berbagai kajian internasional menunjukkan bahwa kerusakan biodiversitas memiliki dampak fiskal yang sangat besar. Laporan TEEB memperkirakan bahwa hilangnya jasa penyerbuk global menyebabkan potensi kerugian ekonomi lebih dari 235 miliar–577 miliar dolar AS per tahun.
Sedangkan degradasi tanah yang memicu sedimentasi sungai dan penurunan kualitas air menimbulkan kerugian hingga 300 miliar dolas AS setiap tahun pada negara-negara berkembang, menurut FAO.
Di sisi lain, Bank Dunia menghitung bahwa kerusakan pesisir dan mangrove yang tidak terlindungi dapat meningkatkan biaya bencana hingga USD 50 miliar per tahun, karena hilangnya fungsi perlindungan alami terhadap badai dan gelombang ekstrem.
Bahkan, OECD memperkirakan bahwa risiko kehilangan biodiversitas dapat menurunkan potensi pertumbuhan fiskal negara hingga 1 persen PDB per tahun jika tidak dikoreksi melalui kebijakan fiskal hijau.
Beberapa riset kawasan turut memperkuat urgensi ini. Studi ASEAN Centre for Biodiversity menunjukkan bahwa kurangnya data ekologis yang terstandar menyebabkan negara-negara Asia Tenggara kehilangan peluang fiskal hingga 1,1 miliar dolas AS per tahun dari pungutan lingkungan dan skema kompensasi konservasi.
Sementara itu, penelitian CIFOR 2022 menemukan bahwa ketidaktepatan data tutupan hutan dapat menyebabkan perhitungan nilai kerugian ekosistem meleset, antara 15 sampai 35 persen, yang pada akhirnya mempengaruhi efektivitas instrumen fiskal berbasis lingkungan.
Indonesia perlu memperkuat sistem inventarisasi ekosistem, integrasi data satelit, hingga mekanisme audit ekologis yang transparan.
Tanpa data yang reliabel, tarif pajak dikhawatirkan tidak mencerminkan risiko sebenarnya dan justru menimbulkan resistensi pelaku usaha.
Instrumen korektif
pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati akan efektif bila diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan. Pajak tidak dapat berdiri sendiri tanpa keterkaitan dengan perizinan lingkungan, rencana tata ruang, analisis dampak lingkungan, serta sistem offset yang kredibel.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



