Bencana Sumatera: Antara Kepastian Alam dan Kelalaian Kebijakan
Fidelis Gulo-ist/jambi-independent.co.id-
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Bencana alam kembali terjadi di Sumatera dalam beberapa hari terakhir. Banjir bandang, dan longsor dilaporkan melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, memaksa warga mengungsi serta kembali menguji kesiapan negara.
Peristiwa ini mengingatkan bahwa bagi Sumatera, bencana bukanlah kejutan, melainkan kepastian alam yang terus berulang, sementara kesiapan kebijakan kerap tertinggal di belakangnya.
Secara geologis dan ekologis, Sumatera merupakan wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi. Ia berada di jalur subduksi aktif, dilintasi patahan besar, serta memiliki bentang alam yang rawan terhadap banjir dan longsor.
Dalam konteks ini, bencana bukan peristiwa insidental, melainkan bagian dari dinamika alam yang risikonya dapat dipetakan dan seharusnya diantisipasi.
BACA JUGA:Menakar Kebijakan Fiskal Penyelamat Alam
Siklus Bencana dan Lupa Kolektif
Sejarah mencatat bahwa bencana besar di Sumatera memiliki pola siklikal. Dalam rentang sekitar dua dekade, peristiwa serupa kembali muncul. Pola ini seharusnya menjadi dasar perencanaan jangka panjang, bukan sekadar catatan historis yang dilupakan setelah fase tanggap darurat berlalu.
Namun yang sering terjadi adalah sebaliknya. Setelah bencana mereda, perhatian publik dan negara ikut surut. Tata ruang kembali diabaikan, kawasan hutan kembali tertekan oleh kepentingan ekonomi, dan daerah aliran sungai terus mengalami degradasi.
Ketika bencana berikutnya datang, negara kembali berada pada posisi reaktif, seolah menghadapi peristiwa yang sama sekali baru.
Dari Kepastian Alam ke Kelalaian Kebijakan
Tidak semua bencana dapat dilepaskan dari kebijakan manusia. Banyak peristiwa yang semula merupakan fenomena alam kemudian berubah menjadi bencana besar akibat kerusakan lingkungan dan lemahnya tata kelola.
BACA JUGA:Tanggap Penyakit Pasca Bencana
Alih fungsi lahan tanpa kendali, lemahnya penegakan hukum lingkungan, serta pembangunan yang mengabaikan daya dukung ekologis telah memperbesar risiko.
Dalam kondisi seperti ini, menyebut bencana semata-mata sebagai takdir alam menjadi penyederhanaan yang menutup persoalan mendasar: adanya kelalaian kebijakan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



