KPK Dalami Proses Awal Jual Beli Lahan Proyek Tol Trans Sumatera, Diduga Sudah Dikondisikan Sejak Awal
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -ist/jambi-independent.co.id-
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan Korupsi dalam pengadaan lahan untuk proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) tahun anggaran 2018-2020.
Lembaga antirasuah itu kini menyoroti tahapan awal transaksi jual beli lahan yang diduga telah dikondisikan sejak awal oleh pihak-pihak tertentu.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa pendalaman tersebut dilakukan dalam pemeriksaan terhadap empat orang saksi pada Kamis 9 Oktober 2025.
Mereka terdiri dari tiga notaris, yakni Rudi Hartono, Genta Eranda, dan Ferry Irawan, serta seorang wiraswasta bernama Bastari.
BACA JUGA:Wah! Gencatan Senjata Berbuah Nyata, Bantuan Kemanusiaan Mulai Masuki Gaza
"Semua saksi hadir, dan penyidik meminta keterangan bagaimana proses awal jual beli lahan. Kemudian saksi juga didalami terkait dugaan bahwa lahan telah dikondisikan oleh tersangka sejak awal, yaitu melakukan pembelian kepada pemilik lahan untuk dimaksudkan akan dijual kepada PT HK atau Hutama Karya (Persero)," ujar Budi saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu.
Kasus korupsi ini pertama kali diungkap KPK pada 13 Maret 2024, setelah ditemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan lahan JTTS di Provinsi Lampung.
Lembaga tersebut kemudian menetapkan tiga tersangka, yakni mantan Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) Bintang Perbowo (BP), mantan Kepala Divisi PT HK M. Rizal Sutjipto (RS), serta Komisaris PT Sanitarindo Tangsel Jaya (STJ) Iskandar Zulkarnaen (IZ). Selain individu, PT STJ juga dijerat sebagai tersangka korporasi.
BACA JUGA:Bupati Anwar Sadat Dampingi Anggota DPR RI Komisi V Reses di Tanjab Barat
Namun, proses hukum terhadap Iskandar Zulkarnaen dihentikan setelah yang bersangkutan meninggal dunia pada 8 Agustus 2024.
Sementara itu, Bintang Perbowo dan M. Rizal Sutjipto resmi ditahan oleh KPK pada 6 Agustus 2025 untuk mempercepat proses penyidikan.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilai kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp205,14 miliar.
Dari jumlah tersebut, Rp133,73 miliar berasal dari pembayaran PT Hutama Karya kepada PT STJ atas lahan di Bakauheni, dan Rp71,41 miliar dari pembelian lahan di Kalianda, keduanya berlokasi di Provinsi Lampung.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



