Sinergi Regulasi dan Penegakan Hukum dalam Tata Kelola Tambang dan Perkebunan di Jambi
Dr Noviardi Ferzi-dok/jambi-independent.co.id-
Biaya medis dan sosial dari dampak ini diperkirakan mencapai Rp 7,5 triliun, termasuk kerugian produktivitas masyarakat yang terdampak.
Ketiga aspek ini menunjukkan bahwa kejahatan lingkungan tidak hanya merusak alam, tetapi juga menyedot sumber daya ekonomi dan memperparah kemiskinan struktural masyarakat di sekitar wilayah terdampak.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, menyatakan bahwa kondisi ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah Jambi agar lebih serius mengelola dan menjaga kelestarian sumber daya alamnya.
Jika tidak, potensi kerugian negara akan semakin besar setiap tahunnya. KKI Warsi mencatat empat kejahatan lingkungan terbesar di Jambi: pengeboran minyak ilegal, tambang emas ilegal (PETI), pembakaran hutan dan lahan, serta pembalakan liar.
BACA JUGA:KPK Periksa Bos Sinarmas, Kasus Dugaan Investasi Fiktif Rp1 Triliun PT Taspen
Selain hilangnya potensi pendapatan negara, kerugian akibat kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan warga bisa jauh lebih besar.
Maraknya tambang ilegal dan pelanggaran tata kelola ini bukan tanpa sebab. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy (Setiawan, 2025) menyebut praktik ini masih terus muncul, menimbulkan prasangka adanya "bekingan" dari oknum tertentu.
Sementara itu, Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli (Setiawan, 2025) menegaskan bahwa faktor utama maraknya tambang ilegal adalah kesulitan ekonomi masyarakat, tingginya pengangguran, lemahnya pengawasan, dan tidak tegasnya penegakan hukum.
Ironisnya, praktik ini kerap mendapat perlindungan dari oknum aparatur negara.
BACA JUGA:Gedung Rektorat ULM Terbakar Hebat, Ijazah Wisudawan Hangus Bersama Api
Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira (Setiawan, 2025) menambahkan, masalah ini juga muncul karena adanya pembiaran sistemik, minimnya kapasitas pengawasan pemerintah pusat pasca-UU Cipta Kerja, serta keterlibatan aktor-aktor lokal yang menjadi beking bagi kegiatan tambang ilegal.
Maraknya tambang ilegal di Provinsi Jambi mencerminkan dinamika sosial-ekonomi kompleks di balik daya tarik emas yang melimpah.
Di tengah hutan lebat dan sungai yang dulunya jernih, kini ekskavator dan mesin dompeng terus menggali perut bumi tanpa izin.
Aktivitas PETI yang tersebar di Merangin, Sarolangun, dan Bungo, menjadi fenomena sosial sekaligus krisis ekologis.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



