Sinergi Regulasi dan Penegakan Hukum dalam Tata Kelola Tambang dan Perkebunan di Jambi
Dr Noviardi Ferzi-dok/jambi-independent.co.id-
BACA JUGA:Taman Puring Kebakaran, Ratusan Kios terbakar
Menurut Ekacitra, Novy dkk. (2025), kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur kewajiban perusahaan tambang batubara terkait infrastruktur jalan umum dan jalan khusus telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 12 ayat (2) huruf i, dan diperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021.
Studi oleh Ekacitra (2025) secara spesifik membahas pemanfaatan jalan umum untuk angkutan batubara di Provinsi Jambi, menyoroti ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan publik yang perlu diatasi. Persoalannya kini terletak pada implementasi dan penegakan.
Siregar (2025) dalam penelitiannya menyoroti koordinasi pemerintahan yang masih perlu diperkuat dalam menyelesaikan mobilisasi angkutan tambang batubara di Provinsi Jambi, mengindikasikan bahwa sinergi antarlembaga menjadi krusial.
Tantangan serupa juga terlihat dalam penanganan tambang ilegal, di mana Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia (Setiawan, 2025) menyatakan bahwa meskipun upaya penanganan telah banyak dilakukan, memberantasnya hingga nol masih menjadi harapan besar, terutama dengan adanya pembentukan Ditjen Gakkum di Kementerian ESDM.
BACA JUGA:BREAKING NEWS: Bus Berisi Jamaah Umroh Asal Jambi Dikabarkan Kecelakaan di Sumsel
Karim (2024) juga menyoroti kebijakan kuota produksi dan transportasi batubara di Jambi dari aspek pelayanan masyarakat, yang menekankan pentingnya respons pemerintah terhadap dampak sosial yang ditimbulkan.
Peran APH, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga peradilan, menjadi krusial dalam upaya penegakan hukum dan menciptakan kepastian, terutama dalam menghadapi praktik tambang ilegal yang merugikan negara triliunan rupiah dan merusak lingkungan.
Tanpa ketegasan APH, setiap kesepakatan atau kebijakan yang lahir dari forum kolaborasi akan rentan terhadap pelanggaran. Rizal Kasli (Setiawan, 2025) bahkan menyebut bahwa praktik tambang ilegal sulit diberantas karena dana besar yang bermain dan adanya pemodal (cukong) serta jaringan perdagangan yang kuat.
APH tidak hanya berperan dalam penindakan, tetapi juga dalam upaya pencegahan, edukasi hukum, dan mediasi konflik. Sinergi antara APH dengan para pemangku kepentingan lainnya akan membentuk ekosistem tata kelola yang kuat dan berintegritas.
BACA JUGA:Zodiak yang Sering Boros, Dompet Tipis karena Gak Tahan Godaan Belanja
Pembentukan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) di Kementerian ESDM, seperti yang didorong oleh Perhapi (Setiawan, 2025), menjadi langkah maju yang diharapkan dapat lebih efektif mencegah kerugian negara dan kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan yang tidak mengikuti kaidah Good Mining Practice.
Langkah awal yang krusial adalah pemetaan dan penataan ulang lahan secara menyeluruh. Ini meliputi identifikasi yang jelas mengenai status dan peruntukan lahan, penyelesaian masalah tumpang tindih perizinan, dan memastikan kepatuhan terhadap semua regulasi yang berlaku.
Secara spesifik, penekanan akan diberikan pada penindakan aktivitas tambang ilegal di area yang tidak sesuai peruntukannya.
Selanjutnya, penguatan pengawasan dan penegakan regulasi menjadi prioritas. Ini akan diwujudkan melalui pembentukan tim gabungan pengawasan yang melibatkan unsur pemerintah, aparat penegak hukum (APH), dan masyarakat.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



