Sinergi Regulasi dan Penegakan Hukum dalam Tata Kelola Tambang dan Perkebunan di Jambi
Dr Noviardi Ferzi-dok/jambi-independent.co.id-
BACA JUGA:Wajib Dihindari, Yuk Kenali Kesalahan Umum saat Memasak Nasi
Dalam situasi ini, tambang ilegal menjadi jalan pintas. Meskipun risikonya besar, dorongan ekonomi lebih kuat daripada kekhawatiran hukum atau lingkungan. Mereka merasa harus menyelamatkan diri sendiri, walau melalui jalur ilegal, karena negara tak hadir menyelamatkan.
Namun, justifikasi PETI sebagai solusi darurat kemiskinan patut dipertanyakan. Aktivitas ini tidak hanya menghancurkan ekosistem hutan dan mencemari sungai dengan merkuri, tetapi juga merampas masa depan generasi berikutnya.
Sungai Batanghari, sumber air ribuan orang, kini tercemar berat. Warga mengeluh gatal-gatal, ikan menghilang, dan lahan pertanian rusak. Jangka panjang, kerusakan ekologis ini bisa menjadi bencana yang lebih besar dari kemiskinan itu sendiri.
PETI juga membawa konsekuensi sosial besar. Konflik antarwarga sering terjadi akibat persaingan lahan. Pekerja musiman dari luar daerah menimbulkan ketegangan budaya dan sosial.
BACA JUGA:4 Zodiak yang Cocok Jadi Influencer: Punya Pesona dan Bakat Alamiah di Dunia Digital
Di beberapa titik, muncul praktik perbudakan dengan upah rendah, jam kerja tak manusiawi, dan minimnya perlindungan keselamatan kerja. Ketika negara absen, hukum rimba berlaku: yang kuat menguasai, yang lemah terpinggirkan.
Hukum tak lagi panglima, melainkan komoditas yang bisa dibeli. Masalah ini dapat dilihat dari sudut pandang geografi manusia, sebagaimana dijelaskan Claval (2001), bahwa ruang bukan sekadar tempat atau lokasi fisik, melainkan terbentuk dari hubungan antara manusia, sumber daya, dan sistem sosial yang ada.
Dalam geografi manusia, ruang dipahami sebagai hasil interaksi kekuasaan dan cara sumber daya didistribusikan. Di Jambi, wilayah pedalaman yang kaya mineral justru menjadi sasaran eksploitasi karena negara tidak mampu mengatur dan membagi hasil sumber daya secara adil.
Akibatnya, masyarakat setempat terpaksa memanfaatkan ruang tersebut secara ilegal karena tidak ada akses ke ruang-ruang legal.
BACA JUGA:Tampung Laporan, Bawaslu Jambi Buka Posko Aduan PDPB
Meskipun dihadapkan pada tantangan besar, optimisme untuk membenahi tata kelola ini harus terus dipupuk. Jambi memiliki potensi besar untuk mengatasi kompleksitas ini.
Kuncinya terletak pada kemauan semua pihak untuk "duduk bareng" dan mencari solusi bersama, didukung oleh kerangka hukum yang telah ada.
Selama ini, permasalahan di sektor pertambangan dan perkebunan seringkali dianggap isu sektoral yang penyelesaiannya hanya di tangan satu atau dua instansi. Padahal, akar masalahnya begitu dalam dan multidimensional, mencakup aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum.
Oleh karena itu, pendekatan parsial tidak akan efektif. Yang dibutuhkan adalah kolaborasi holistik antara berbagai pemangku kepentingan (pemerintah daerah, dinas terkait, pelaku usaha, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media massa) dengan dukungan penuh dari Aparat Penegak Hukum (APH), serta pemanfaatan optimal regulasi yang telah ditetapkan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



