Bencana Sumatera: Antara Kepastian Alam dan Kelalaian Kebijakan
Fidelis Gulo-ist/jambi-independent.co.id-
Bencana, dengan demikian, patut dipahami sebagai indikator kualitas kebijakan publik. Semakin besar dampak yang ditimbulkan, semakin jelas ada persoalan struktural dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan.
Negara yang Reaktif, Bukan Antisipatif
Peristiwa bencana yang terjadi hampir bersamaan di berbagai wilayah Sumatera belakangan ini kembali menegaskan bahwa pola penanganan kita masih bertumpu pada respons darurat, bukan pada antisipasi risiko jangka panjang.
BACA JUGA:Viral! Aksi Ugal-ugalan di Jalan Tol Berujung Pemecatan Sopir Bus Rosalia Indah
Negara relatif sigap dalam fase tanggap darurat, penyaluran bantuan, pendirian posko, dan rehabilitasi awal, tetapi kurang serius dalam pencegahan.
Padahal, pencegahan bencana tidak dimulai dari sirene atau logistik, melainkan dari keputusan politik. Apakah tata ruang benar-benar ditegakkan? Apakah izin lingkungan dapat dibatalkan ketika mengancam keselamatan publik?
Apakah prinsip kehati-hatian dijadikan fondasi pembangunan? Tanpa keberanian menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kesiapsiagaan akan berhenti pada tataran administratif.
Tumpang Tindih Penanggulangan
Masalah lain yang terus berulang adalah tumpang tindih kewenangan dalam penanggulangan bencana. Banyak aktor terlibat, tetapi koordinasi sering kali tidak efektif. Pemerintah pusat dan daerah tidak selalu berada dalam satu garis komando.
BACA JUGA:Ide Sarapan Sehat Bernutrisi: Menu Tinggi Protein dan Takaran Konsumsinya
Akibatnya, penanganan menjadi tidak efisien dan cenderung reaktif. Bencana yang seharusnya menjadi momentum konsolidasi negara justru memperlihatkan fragmentasi kewenangan, yang pada akhirnya memperbesar dampak bagi masyarakat terdampak.
Mengubah Cara Memotret Bencana
Sudah saatnya bencana dipotret bukan hanya sebagai peristiwa tragis, melainkan sebagai cermin tata kelola negara. Fokus tidak boleh berhenti pada seberapa cepat bantuan disalurkan, tetapi juga pada seberapa serius risiko dicegah sejak awal.
Untuk Sumatera, langkah strategis ke depan perlu diarahkan pada penegakan hukum lingkungan yang konsisten, integrasi tata ruang berbasis risiko bencana, penguatan koordinasi penanggulangan, serta perubahan paradigma dari reaktif menuju preventif.
Tanpa perubahan mendasar tersebut, siklus bencana akan terus berulang dan negara akan terus berada dalam posisi tergesa-gesa menghadapi sesuatu yang sebenarnya telah lama diperingatkan oleh alam.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



