Banjir Bandang, Tanggung Jawab Negara, dan Jalan Class Action bagi Warga
Mochammad Farisi-Ist/jambi-independent.co.id -
Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, perambahan kawasan lindung, pembalakan liar, serta aktivitas pertambangan—baik legal maupun ilegal—telah mengubah struktur tanah, merusak daerah resapan, dan mempercepat limpasan air ke hilir.
Sungai kehilangan daerah penyangga, lereng kehilangan vegetasi penahan, dan tanah kehilangan kemampuan menyerap air.
BACA JUGA:Polri Kirim 4,4 Ton Logistik ke Sumut untuk Perkuat Operasi Tanggap Darurat
Gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang bukan sekadar “benda hanyut”. Ia adalah indikator ekologis bahwa telah terjadi kerusakan struktural di hulu. Kayu sebesar itu tidak akan terangkut jika hutan masih sehat.
Ia hanya muncul ketika pembukaan lahan tak terkendali atau pembalakan liar dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa pengawasan. Di titik inilah isu banjir bandang tidak lagi semata menjadi persoalan bencana alam, melainkan persoalan tanggung jawab hukum negara dan korporasi.
Banjir Bandang sebagai Cermin Kegagalan Tata Kelola
Bencana ini sesungguhnya adalah cermin dari: Lemahnya pengawasan perizinan; Konflik kepentingan dalam eksploitasi sumber daya alam; Ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan; Minimnya efek jera bagi perusak lingkungan.
Jika negara sungguh-sungguh ingin mencegah banjir bandang berulang, maka jawaban utamanya bukan sekadar normalisasi sungai, tetapi penertiban struktur ekonomi-ekologis di hulu.
BACA JUGA:Enam Titik Jalan Terban dan Satu Putus Total di Lembah Anai Akibat Banjir Bandang
Selama hutan dianggap sebagai objek ekonomi semata, selama izin tambang dapat diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang ketat, dan selama pembalakan liar hanya dihukum pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektualnya, maka banjir bandang akan terus menjadi “bencana musiman”.
Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Akibat Hukum bagi Negara bila Gagal
Konstitusi Indonesia (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini tidak bersifat pasif.
Negara memiliki kewajiban aktif untuk mencegah pencemaran dan kerusakan, serta menindak setiap pelanggaran. Hak ini juga dijamin dalam berbagai instrumen hukum lingkungan nasional dan internasional.
Artinya, ketika lingkungan rusak akibat kebijakan perizinan yang keliru, lemahnya pengawasan, atau pembiaran pelanggaran hukum, maka hak asasi warga negara telah dilanggar.
BACA JUGA:Kemenhut Telusuri Kayu Terbawa Banjir Sumatera, Indikasi Illegal Logging Diusut
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:




