Ketika Masyarakat, Polisi dan Wartawan Jadi Korban: Dilema Demokrasi di Jalanan
Noviardi Ferzi-dok/jambi-independent.co.id-
BACA JUGA:Demo di Jambi Makin Beringas! Mobil Wartawan Dibakar Massa
Tiga orang tewas dan lima lainnya luka-luka. Polisi menghadapi pilihan sulit: menahan diri dengan risiko kerusakan semakin parah, atau bertindak represif dengan konsekuensi korban jiwa (Suara.com, 2025).
Di Jambi, demonstrasi mahasiswa di DPRD berakhir ricuh. Massa melempari aparat dengan batu, merusak pagar, dan membakar mobil dinas DPRD.
Aparat yang bertahan dikritik karena dianggap gagal mencegah kerusuhan, sementara upaya represif pun berisiko menimbulkan korban baru (Detik.com, 2025).
Ketiga kasus ini memperlihatkan dilema klasik Polri: bertindak salah, diam pun salah.
BACA JUGA:Demo Masih Lanjut! Pos Lantas di Simpang BI Kota Jambi Dibakar Massa
Di sisi lain, media menghadapi dilema berbeda. Kehadiran wartawan dalam demonstrasi bertujuan menyampaikan fakta dan membentuk opini publik, namun mereka kerap menjadi korban kekerasan di lapangan.
Di Jakarta, Bayu Pratama Syahputra, pewarta foto ANTARA, dipukul aparat saat meliput demonstrasi di Pejompongan dan kameranya rusak.
Mabes Polri sampai mengeluarkan pernyataan resmi bahwa tugas wartawan harus dilindungi (Jawa Pos, 2025).
Di Makassar, sejumlah jurnalis juga menjadi sasaran pemukulan oleh oknum aparat. Seorang wartawan bahkan mengalami luka parah di kepala hingga harus dilarikan ke rumah sakit (Detik News, 2025).
BACA JUGA:Aksi Heroik Ibu Jilbab Pink Hadapi Brimob, Sempat Dicari Anaknya
Penelitian Tapsell (2020) telah mengingatkan bahwa jurnalis di Indonesia menghadapi risiko intimidasi fisik maupun digital ketika meliput isu politik.
Situasi terkini membuktikan peringatan itu benar adanya: wartawan berada dalam posisi rawan, dicurigai oleh massa, sekaligus dianggap ancaman oleh aparat.
Demonstrasi pada akhirnya bukan hanya arena pertarungan politik, tetapi juga cermin kualitas demokrasi. Polisi dan media berada pada posisi “buah simalakama” yang nyata.
Polri harus menjaga ketertiban tanpa kehilangan wajah HAM, meski risiko dianggap represif atau lalai selalu membayangi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



