Jika dihitung dari dampak ekonomi, studi-studi global memperkirakan bahwa nilai jasa ekosistem yang hilang akibat deforestasi dan degradasi lahan di Asia Tenggara mencapai 150 miliar–200 miliar dolar AS per tahun.
Untuk konteks Indonesia, estimasi nilai jasa ekosistem hutan hujan, termasuk penyerapan karbon, penyerbukan, pengendalian banjir, dan penyediaan air yang berkisar 10 miliar–15 miliar dolas AS per tahun.
Apabila instrumen pajak mampu mengurangi kehilangan tutupan hutan dan degradasi ekosistem sebesar 5–10 persen saja, potensi manfaat ekonomi yang "terselamatkan" dapat mencapai 500 juta dolas AS hingga 1,5 miliar dolas per tahun.
Angka itu jauh lebih besar dibandingkan potensi beban jangka panjang akibat kerusakan lingkungan yang selama ini tidak terbukukan dalam neraca fiskal.
Dengan demikian, integrasi pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati bukan sekadar kebijakan ekologis, melainkan strategi ekonomi untuk menjaga kepastian pasokan, menurunkan risiko perdagangan, dan mempertahankan akses pasar Indonesia di tengah standar global yang semakin ketat.
Paradigma baru
Dalam konteks APBN, pajak keanekaragaman hayati dapat menjadi sumber pembiayaan bagi program restorasi alam, rehabilitasi mangrove, pemulihan gambut, serta penguatan konservasi spesies.
Pembiayaan lingkungan, saat ini, masih sangat mengandalkan anggaran reguler negara yang bersifat terbatas. Sementara kebutuhan pemulihan ekosistem, terutama di daerah rawan bencana, terus meningkat.
Dengan adanya sumber pajak khusus, negara memiliki ruang fiskal yang lebih kuat untuk memperbaiki kondisi lingkungan tanpa merongrong belanja publik lainnya.
Lebih jauh, pajak ini dapat mendorong desentralisasi fiskal hijau jika sebagian penerimaan diarahkan kembali ke daerah untuk memperbaiki kualitas ekosistem lokal.
Pada tingkat kebijakan, pengembangan pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati juga dapat memperkuat strategi transisi ekonomi hijau Indonesia.
Pemerintah, kini tengah menyiapkan berbagai instrumen keuangan untuk mendukung target netral karbon, mulai dari perdagangan karbon, hingga standar emisi.
Meskipun demikian, upaya mengurangi kerusakan lingkungan tidak hanya soal karbon, melainkan juga menjaga fondasi ekosistem yang menopang kehidupan. Pajak ini dapat melengkapi kerangka kebijakan iklim dengan memasukkan dimensi ekologi yang lebih luas daripada sekadar pengurangan emisi.
Akhirnya, wacana penerapan pajak keanekaragaman hayati tidak dapat dilihat semata-mata sebagai inovasi fiskal, tetapi juga sebagai perubahan paradigma.
Selama ini, pembangunan di Indonesia sering dipahami sebagai proses ekspansi ruang ekonomi yang mengorbankan ruang ekologis. Paradigma baru menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai aset ekonomi yang harus dijaga keberlanjutannya.
Pajak menjadi alat untuk menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan kesehatan ekosistem. Dengan instrumen yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat melindungi kekayaan alamnya, tetapi juga membangun ekonomi yang lebih kokoh di masa depan.