b9

Mengapa Melanggar Lalu Lintas Dianggap Biasa?

Mengapa Melanggar Lalu Lintas Dianggap Biasa?

Fidelis Gulo-ist/jambi-independent.co.id-

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Pelanggaran lalu lintas adalah pemandangan harian. Lampu merah diterobos, helm hanya digantung di lengan, sabuk pengaman diabaikan, dan melawan arus dilakukan tanpa ragu.

Anehnya, semua itu kerap berlangsung tanpa rasa bersalah. Pembenarannya pun sederhana: rumah dekat, sebentar saja, jalan sepi, atau semua orang juga begitu.

Di titik inilah persoalan lalu lintas menjadi lebih dari sekadar pelanggaran aturan. Ia telah berubah menjadi kebiasaan sosial.

Yang patut dipertanyakan bukan hanya siapa yang melanggar, melainkan mengapa pelanggaran itu diterima sebagai sesuatu yang wajar.

BACA JUGA:Mengenang Warisan Visioner Raden Bei Aria Wirjaatmadja dalam 130 Tahun Perjalanan BRI

Normalisasi yang Berbahaya

Pelanggaran lalu lintas tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari pembiaran yang berulang. Ketika pelanggaran terjadi tanpa konsekuensi yang terasa, baik secara sosial maupun hukum, maka makna “melanggar” perlahan menghilang.

Rambu dan marka lalu lintas tidak lagi dipandang sebagai tanda perintah dan larangan, melainkan sekadar ornamen jalan. Aturan kehilangan daya didiknya. Jalan raya pun berubah dari ruang publik yang seharusnya aman menjadi arena kepentingan pribadi.

Normalisasi ini berbahaya karena membuat risiko tampak sepele. Pelanggaran tidak lagi dilihat sebagai potensi kecelakaan, tetapi sebagai cara cepat menyiasati situasi.

Budaya Terburu-buru

Salah satu akar persoalan adalah budaya terburu-buru. Kecepatan sering dipahami sebagai efisiensi, sementara keterlambatan dianggap sebagai kegagalan personal. Dalam logika ini, jalan raya menjadi ruang kompensasi atas manajemen waktu yang buruk.

BACA JUGA:Kantor Imigrasi Kerinci Ukir Prestasi dengan Predikat WBK

Lampu merah diterobos demi beberapa detik. Helm dilepas karena jarak dekat. Sabuk pengaman dianggap tidak penting. Keselamatan ditukar dengan kepraktisan sesaat.

Yang lebih mengkhawatirkan, pelanggaran semacam ini jarang memunculkan rasa malu sosial. Melanggar tidak lagi dipersepsikan sebagai tindakan berbahaya, bahkan kadang dianggap cerdik. Pada titik ini, hukum kehilangan fungsi etiknya dan hanya dipahami sebagai hambatan teknis yang bisa diakali.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: