
Sektor-sektor strategis yang sempat ditawarkan Indonesia—seperti mineral penting, energi, pertanian, dan pertahanan, bisa saja mendapatkan perlakuan khusus atau bahkan pengecualian tarif yang lebih rendah.
Jika skenario ini terwujud, Indonesia berpotensi menjadi pemasok kunci bagi industri vital di AS, menciptakan ketergantungan ekonomi dua arah yang menguntungkan dan mempercepat diversifikasi ekonomi Indonesia dari ketergantungan pada beberapa komoditas saja.
Diversifikasi ini sangat penting untuk ketahanan ekonomi suatu negara (Acemoglu & Robinson, 2012).
"Akses penuh" AS ke Indonesia kemungkinan besar akan berwujud peningkatan investasi langsung asing (FDI) dari Amerika Serikat.
Investasi ini bukan sekadar aliran modal. Menurut literatur ekonomi, FDI merupakan saluran penting untuk transfer teknologi, praktik manajemen modern, dan keahlian teknis yang krusial bagi modernisasi industri negara berkembang (Borensztein et al., 1998).
Ini adalah katalisator kuat untuk penciptaan lapangan kerja berkualitas, peningkatan daya saing, dan pengembangan infrastruktur.
Bayangkan dampak transformatif jika raksasa energi atau teknologi AS berinvestasi besar-besaran di sektor-sektor kunci Indonesia, mengintegrasikan rantai pasok global dan mendorong inovasi domestik.
Pernyataan pemerintah Indonesia tentang rencana pengumuman bersama yang mencakup "langkah non-tarif dan perjanjian komersial" adalah poin yang paling ditunggu dan bisa menjadi penentu keberhasilan kesepakatan ini.
Seringkali, hambatan non-tarif—seperti birokrasi yang rumit, standar teknis yang tidak jelas, atau kuota impor—justru lebih menghambat perdagangan daripada tarif itu sendiri.
Jika kesepakatan ini mencakup penghapusan hambatan non-tarif oleh AS, atau memberikan akses preferensial bagi produk dan perusahaan Indonesia dalam proyek-proyek tertentu di AS, maka manfaatnya bisa jauh melampaui dampak negatif tarif 19%.
Perjanjian komersial yang komprehensif juga dapat menjamin pasokan bahan baku, kerja sama riset dan pengembangan, atau kemitraan strategis lainnya yang menguntungkan jangka panjang, menciptakan ikatan ekonomi yang lebih dalam dan saling menguntungkan (Krugman & Obstfeld, 2009).
Bagi masyarakat Indonesia, dampak langsung dari tarif 0% untuk barang AS yang masuk ke Indonesia adalah potensi penurunan harga produk-produk Amerika Serikat di pasar domestik. Ambil contoh alat-alat teknologi seperti iPhone atau perangkat elektronik lainnya.
Sebelumnya, produk-produk ini mungkin dikenakan bea masuk oleh pemerintah Indonesia. Dengan tarif 0%, komponen biaya bea masuk ini akan hilang, yang berpotensi diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga jual yang lebih rendah, membuat produk AS menjadi lebih terjangkau dan meningkatkan daya beli.
Selain itu, potensi penurunan harga juga berlaku untuk alat utama sistem senjata (alutsista) yang mungkin diimpor dari AS.
Dengan dihapusnya bea masuk, anggaran pertahanan negara dapat menjadi lebih efisien, memungkinkan akuisisi alutsista yang lebih modern atau dalam jumlah lebih banyak dengan anggaran yang sama, atau mengalihkan penghematan ke sektor lain yang membutuhkan.
Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk memodernisasi alutsista dan membangun industri pertahanan yang kuat (Kemhan RI, 2024).
