Kasus Keracunan Massal Program Makan Bergizi Gratis, Nitrit Diduga Jadi Pemicu!
Profesor Tjandra Yoga Aditama mengimbau agar tim investigasi BGN memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai hasil temuan kasus keracunan makanan di Kabupaten Bandung Barat-Antara/jambi-independent.co.id-
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Kasus keracunan massal yang menimpa 1.315 siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung Barat terus menjadi sorotan publik.
Berdasarkan hasil penyelidikan Tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional (BGN), senyawa nitrit disebut sebagai pemicu utama munculnya gejala keracunan yang dialami para siswa.
Dalam laporan yang dikutip berbagai media nasional, ditemukan kadar nitrit sangat tinggi pada sampel buah melon dan lotek yang dikonsumsi para siswa.
Nilai kandungan nitrit masing-masing tercatat sebesar 3,91 mg/L dan 3,54 mg/L, jauh di atas ambang batas aman yang ditetapkan lembaga kesehatan internasional.
BACA JUGA:Precision Training, Cara Cerdas Capai Tubuh Sehat dan Bugar Sesuai Kebutuhan Pribadi
Sebagai pembanding, Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat hanya memperbolehkan maksimal 1 mg/L nitrit dalam minuman, sementara otoritas kesehatan Kanada menetapkan batas hingga 3 mg/L.
Dengan demikian, kadar nitrit pada sampel makanan MBG jelas melampaui batas wajar konsumsi manusia.
Para ahli sepakat bahwa tingginya kadar nitrit berpotensi menimbulkan gangguan serius pada kesehatan, terutama bagi anak-anak yang memiliki daya tahan tubuh lebih lemah.
Meski demikian, publik menilai bahwa tim investigasi perlu memberikan penjelasan lebih mendalam terkait dua hal penting agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi.
BACA JUGA:Sassuolo Bungkam Verona 1-0, Jay Idzes Tampil Garang Jelang Bela Timnas Indonesia!
Pertama, masyarakat perlu mengetahui asal mula tingginya kandungan nitrit pada makanan tersebut. Apakah pencemaran terjadi dari bahan mentah, proses pengolahan di SPPG (Sentra Produksi Pangan Gizi), atau akibat faktor lingkungan seperti air dan udara yang terkontaminasi.
Dengan penelusuran menyeluruh terhadap rantai produksi makanan, penyebab utama bisa diidentifikasi dan dicegah di kemudian hari.
Kedua, berdasarkan hasil investigasi yang ditemukan, tim diharapkan juga memberikan rekomendasi perbaikan sistem keamanan pangan, baik dari sisi pengawasan bahan baku, sanitasi dapur, maupun distribusi makanan ke sekolah-sekolah penerima manfaat.
Langkah ini penting sebagai "lesson learned" untuk memperbaiki pelaksanaan program di masa depan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:




