Sepak Bola Kemalaman

Sepak Bola Kemalaman

ilustrasi-ist/jambi-independent.co.id-

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Semua harus paham kenyataan ini: Tidak pernah ada keputusan yang menguntungkan SEMUA pihak. Sama seperti pelajaran kelas public relation: Semua harus sadar kalau 100 persen obyektivitas itu tidak mungkin dicapai.

Keputusan yang baik adalah memastikan keputusan itu baik untuk sebanyak mungkin pihak. Dalam artian, kepentingan orang lebih banyak. Kadang menyakitkan, kadang memilukan. Tapi harus diambil.

Dan kalau keputusan itu tidak bisa menyenangkan banyak orang, paling tidak harus ada pertimbangan bahwa keputusan itu punya konsekuensi jangka panjang yang baik. Bukan sekadar sakit di awal, tapi kemudian sakit terus kemudian.

Menyadari penuh hal tersebut, maka saya tetap tidak habis pikir kenapa sepak bola Indonesia harus kick off pukul 20.30 WIB. Itu berarti selesai paling cepat 22.30 WIB. Bahkan di hari kerja.

BACA JUGA:Polri Periksa 18 Polisi terkait Tragedi Kanjuruhan

BACA JUGA:Film Jagat Arwah Banjir Tanggapan Positif, Iqbaal Ramadhan: Local Fantasy Berbalut Horor Paling Caem di 2022!

Ya. Ya. Ya. Saya dengar sendiri alasannya. Demi rating. Liga kita tidak punya pilihan. Mau tidak mau harus menurut dengan yang membayar. Dalam hal ini, pemegang hak siar televisi. Yang kemudian menentukan kapan sebaiknya sepak bola kickoff, menurut kebutuhan rating MEREKA.

Selasa kemarin (2 Agustus), saya dikirimi hasil rating televisi Senin malam sebelumnya. Seperti yang paling sering terjadi, sinetron menguasai tiga posisi teratas. Ada Cinta Setelah Cinta dari SCTV di pucuk, lalu Ikatan Cinta RCTI di urutan kedua. Panggilan Indosiar di urutan tiga.

Baru setelah dua cerita cinta dan panggilan itu, di urutan empat adalah tayangan pertandingan klub kecintaan Surabaya, Persebaya, menjamu klub kecintaan Tangerang, Persita. Juga di Indosiar.

Sudah bukan rahasia, sejumlah klub legendaris Liga 1 adalah magnet rating. Persija, Persib, dan Persebaya.

BACA JUGA:Ketemu Ketum IMI Pusat Bamsoet, Ketua IMI Provinsi Jambi Guntur Pastikan IMI Jambi Siap Gelar 4 Kejurnas Balap

BACA JUGA:Masih Keliaran di Kota Jambi, Anggota Geng Motor Ini Ditangkap Warga Komplek Garuda

Baru kemudian Arema dan Bali United. Dan saya tahu persis, seandainya boleh memilih, pembeli hak siar hanya ingin membeli pertandingan klub-klub utama saja. Kebetulan saja mereka harus membeli paket komplet seluruh klub.

Kita tidak boleh menyalahkan pemegang hak siar untuk mengutamakan rating mereka. Kelangsungan hidup dan perkembangan masa depan mereka bergantung dari itu. Life is a business. Kita harus selalu menerima kenyataan itu. Sering menyebalkan, tapi itu realita.

Senin malam itu, berkat sinetron dan sepak bola, Indosiar "menang." Meraih share 18,8 persen. Mengalahkan RCTI (17 persen) dan SCTV (16,9 persen). Jadi, dari kaca mata mereka, wajar kalau sepak bola harus main malam.

Jangan marah ke mereka.

BACA JUGA:Deklarasi Anies Capres 2024 Disebut Surya Paloh Tak Ada Hubungan dengan KPK

BACA JUGA:Gawat, Inflasi Jambi Kembali Tembus 8 Persen, Kenaikan Harga BBM Hingga Beras jadi Penyebab Utama

Sekarang, kita mencoba melihat sisi lain keputusan main malam itu. Apakah liga mendapatkan keuntungan tambahan? Rasanya tidak. Karena hak siar sudah dibeli secara gelondongan. Bahkan kontrak "multiyear" (beberapa tahun) sudah diteken sejak lama.

Maaf, saya ralat. Tidak ada keuntungan tambahan.

Kemudian bicara soal klub. Apakah klub mendapatkan keuntungan tambahan? Rasanya saya tidak perlu menjabarkan terlalu detail. Siapa saja yang punya kemampuan analisa bisnis bisa menghitungnya sendiri.

Satu, klub tidak mendapatkan pemasukan tambahan. Ada janji bonus tambahan dari liga berdasarkan rating. Tapi angka pastinya belum ada. Kalau pun ada, apakah secara overall nilainya mampu menutupi kerugian atau loss opportunity klub? Saya masih menunggu.

BACA JUGA:Survei Indikator Sebut Prabowo Unggul jika Dipasangkan dengan Erick Thohir

BACA JUGA:Pra TMMD ke-115 Kodim 0415/Jambi Resmi Digelar

Yang pasti, main pagi, siang, sore, atau malam, pendapatan klub dari liga belum terbukti bertambah. Malah, kalau dihitung secara menyeluruh, tiap tahun kok rasanya semakin menurun. Dan saya paling tersinggung kalau pendapatan dari liga itu disebut sebagai "subsidi/kontribusi." Karena 18 klub Liga 1 adalah pemegang saham mayoritas liga. Jadi, itu adalah hak komersial. Bukan subsidi/kontribusi.

Saya sudah berkali-kali menulis, di liga yang maju, pemasukan utama klub adalah dari liganya. Liganya pintar mencari pemasukan, menggunakan kekuatan klub-klub anggotanya, yang kemudian mendistribusikan lagi pemasukan tersebut kepada klub-klub anggotanya. Dalam hal ini, shareholder-nya. Karena itu, di liga yang maju, tidak perlu ada banyak logo sponsor di baju. Karena sumber pemasukan utama dari liga. Khususnya dari hak siar.

Di liga kita, nilai "hak komersial" yang didapatkan klub sangat tidak cukup untuk operasional. Apalagi menggaji pemain yang nilai kontraknya bisa melonjak tanpa kontrol, seperti inflasi yang tidak ada mekanisme pengendaliannya. Klub-klub besar tidak pernah memusingkan ini. Bahkan termasuk berbahaya kalau mengandalkan ini sebagai sumber pemasukan.

Tapi, kalau liganya mau sehat, lalu klubnya mau sehat, lalu pemainnya mau sehat, masalah itu tentu harus disehatkan bukan?

BACA JUGA:TMMD ke-115, Kodim 0415/Jambi Gandeng Media

BACA JUGA:The 4th GDIC 2022 Sukses Digelar: Siap Wujudkan Pembangunan Hijau Kolaborasi Unja-Australia-Malaysia-Thailand

Soal hak siar ini, ada pula variasinya. Seperti yang disampaikan seorang bos klub besar langsung kepada saya, saat ramai-ramainya meributkan jam tayang sebelum musim dimulai. Dia bilang, kalau memang mau memaksakan klub-klub besar main sangat malam, maka harus ada tambahan nilai komersial yang jelas.

Dia mencontohkan di Spanyol. Ketika Real Madrid bertanding melawan Barcelona, maka ada tambahan khusus untuk kedua klub saat laga itu diselenggarakan. Bahkan, kedua klub itu bisa nego sendiri nilai hak siarnya.

Tentu saja itu contoh ekstrem. Kita masih membangun industri sepak bola kita. Harus membantu membawa semua klub menjadi lebih baik, memiliki pemahaman industri yang lebih baik.

Kembali soal main larut malam.

BACA JUGA:Kisah Cinta Zodiak Kamu, 3 September 2022, Leo, Anda Mungkin Tertarik Dengan Perilaku Pasangan yang Romantis

BACA JUGA:Zodiak Kamu, 3 September 2022, Taurus, Anda Mungkin Terjerat Dalam Drama Mental

Liga jelas terbukti tidak punya bargaining power untuk mengubah jam tayang.

Klub belum tentu mendapatkan tambahan yang fair. Malah, berdasarkan pengalaman Senin malam lalu, klub sudah pasti mendapat pukulan loss revenue (kehilangan pemasukan). Pertandingan Senin larut malam itu adalah pertandingan dengan jumlah penonton tersedikit sejak saya mulai mengelola Persebaya pada 2017. Loss revenue memang belum tentu rugi. Tapi, bagi klub yang biaya penyelenggaraan pertandingannya tinggi, loss revenue hampir selalu berujung kerugian. Semoga saja tidak harus 17 kali loss revenue.

Tinggal menunggu di akhir musim. Apakah loss revenue-nya sebanding dengan nilai tambahan yang diwacanakan liga. Pada saat ini, saya merasa, 99 persen tidak.
Sekarang, kita bicara soal potensi kehilangan yang lebih menyakitkan lagi untuk masa depan.

Bagi saya, yang paling menyebalkan dari kickoff larut malam itu adalah tidak bisa mengajak, atau memaksa, anak-anak saya untuk menonton Persebaya. Dan saya yakin, banyak yang punya cerita seperti saya. Anak-anaknya tidak bisa menonton. Jangankan menonton di stadion. Menonton di televisi saja tidak bisa karena kemalaman.

BACA JUGA:Waduh, USD Tak Bisa Turun dari Rp 15 Ribu, Rupiah Terus Melemah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: