Serangan Siber sering Dilatarbelakangi Motif Financial

Serangan Siber sering Dilatarbelakangi Motif Financial

Serangan siber yang terjadi baik di Indonesia dan dunia sering dilatar belakangi masalah financial. -Foto: ilustrasi pixabay-Pixabay

JAKARTA,JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Serangan siber yang terjadi baik di Indonesia maupun di luar negeri sering kali bermotif finansial.

Hal ini disampaikan oleh Senior Cyber Security and Data Privacy Advisor SecLab BDO Indonesia Keith Douglas Trippie.

Perusahaan penyedia jasa konsultasi itu menyebut serangan seringkali didasari motif finansial.

"Institusi perbankan paling sering menjadi sasaran serangan siber," kata Trippie dalam siaran pers pada Jumat 30 September 2022.

"Misalnya state sponsored attack terhadap SolarWinds, atau serangan rantai pasok yang menghantam Quanta, perusahaan yang menyuplai produk ke Apple, bahkan sasaran industrial negara dan sangat penting seperti Colonial Pipeline di Amerika," kata Trippie seperti dikutip dari JPNN.com

 

Trippie menyebut dampak kerugian akibat serangan siber global diperkirakan mencapai USD 2 triliun di awal 2022.

"Meningkat jauh dari USD 400 miliar pada 2015, dan kerugian dari ransomware saja bisa mencapai USD 265 miliar pada 2031. Sudah saatnya perusahaan di Indonesia memperkokoh ketahanan sibernya di tahun ini, dan mempersenjatai diri dengan framework keamanan siber yang jelas agar tidak menjadi korban berikutnya," ungkap Trippie.

BACA JUGA:Terhambat Nama Cawapres, Koalisi Nasdem, PKS dan Demokrat Belum Deklarasi

BACA JUGA:PSSI Pastikan Berikan Sanksi Keras pada Panitia Pertandingan Laga Arema FC Vs Persebaya

Cyber Security Director SecLab BDO Indonesia Harry Adinanta mengatakan pemerintah Indonesia sudah melakukan perbaikan, misalnya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tetapi masih butuh waktu sampai negara bisa mencapai tingkat kematangan pertahanan siber.

Meski demikian, pesatnya perkembangan teknologi, membuat kejahatan siber lebih gencar dan cepat dibanding berbagai perbaikan.

"Salah satu akar masalahnya adalah ketersediaan tenaga ahli," katanya.

Padahal, kata Harry Adinanta, di Indonesia pengguna teknologi internet telah mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk, atau sekitar 175,4 juta jiwa. Jumlah pengguna internet ini mengalami pertumbuhan sebesar 17 persen dibandingkan dengan jumlah pengguna internet pada tahun sebelumnya.

BACA JUGA:Tersebar Data Terbaru Korban Tewas Tragedi Kericuhan Arema FC Melawan Persebaya Menjadi 153 Penonton

BACA JUGA:Dukung Industri Film Indonesia Sandiaga Uno Nobar Film Miracle In Cell No 7

Masyarakat Indonesia menggunakan teknologi internet untuk berbagai macam transaksi, baik untuk kepentingan bisnis dan transaksi elektronik.

Salah satu masalah paling mendasar yang saat ini dihadapi oleh transaksi internet/transaksi elektronik adalah masalah keamanan sistem informasi dan perlindungan terhadap data pribadi.

"Berbagai faktor berkontribusi di dalam besarnya tingkat ketidakpercayaan pengguna internet dalam transaksi e-commerce, salah satu penyebab tertinggi adalah kejahatan siber," ungkapnya.

Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), diketahui ada lebih dari 700 juta serangan siber yang terjadi di Indonesia pada 2022. Baru-baru ini juga terjadi kebocoran data registrasi kartu SIM, di samping insiden-insiden besar sebelumnya yang melibatkan data kesehatan e-HAC, data kementerian, BUMN, hingga data pelanggan di e-commerce ternama.

BACA JUGA:Kerongkongan Bergeser Akibat KDRT, Lesti Kejora Gugat Cerai Rizky Billar Hanya Soal Waktu?

BACA JUGA:5 Manfaat Luar Biasa Air Lemon Campur Madu

Di samping itu, survei yang dilakukan oleh SecLab BDO Indonesia terhadap talenta TI di Indonesia, mengungkap bahwa 9 dari 10 lulusan teknologi memilih untuk menjadi developer perangkat lunak, dan hanya 1 dari 10 yang berminat untuk mendalami keamanan siber. *

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: jpnn.com