Ekspor Jambi Rentan, Masih Ketergantungan Sektor Tambang
Dr Noviardi Ferzi-ist/jambi-independent.co.id-
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID – Struktur ekspor Provinsi Jambi tergolong rapuh karena masih sangat tergantung pada komoditas tambang.
Pada Juli 2025, ekspor tercatat sebesar 171,32 juta dolar amerika, turun 5,50 persen dibandingkan Juni yang mencapai 181,30 juta dolar amerika.
Secara kumulatif Januari–Juli 2025, nilai ekspor mencapai US$1,231 miliar, turun 7,45 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Penurunan paling tajam terjadi pada sektor pertambangan, yang anjlok hampir 29 persen, terutama komoditas batubara dan migas.
BACA JUGA:Inilah Zodiak yang Cerdik dan Taktis Saat Hadapi Masalah Berat
Sebaliknya, sektor pertanian justru meningkat 22,89 persen, dan industri pengolahan naik 16,01 persen—angka yang memperkuat diagnosis: struktur ekspor Jambi masih sangat tergantung pada tambang.
Analisis historis menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap tambang bukan tren sesaat. Sepanjang 2024, ekspor Jambi tumbuh 6,74 persen mencapai 2,34 miliar dolar amerika, namun lebih dari separuhnya masih ditopang sektor pertambangan.
Triwulan I-2024, 66,6 persen ekspor berasal dari tambang, sedangkan industri hanya 29,6 persen dan pertanian hanya 3,8 persen.
Pada tahun penuh 2023, pertambangan menyumbang 59,82 persen dari total ekspor, industri 36,79 persen, dan pertanian hanya 3,39 persen. Dominasi struktural seperti ini membuat Jambi sangat rentan terhadap fluktuasi eksternal, terutama dari sisi harga global.
BACA JUGA:Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Eropa: Portugal Hancurkan Armenia 5-0, Ronaldo Cetak Brace
Ketergantungan seperti ini dalam literatur ekonomi dikenal sebagai resource dependence, yang sering mengarah pada resource curse.
Sachs dan Warner (1995) menunjukkan bahwa daerah yang terlalu bergantung pada ekspor sumber daya cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang rendah karena volatilitas harga, lemahnya diversifikasi, dan praktik rente yang menghambat inovasi.
Di Jambi, saat harga batubara dan migas jatuh, ekspor langsung tertekan, dan ekonomi daerah lesu. Lebih ironis lagi, dari sisi fiskal, ketergantungan tambang ini tidak memperkuat keuangan daerah.
PAD dari sektor tambang sangat minim karena keuntungan umumnya mengalir ke pusat atau korporasi besar, sementara daerah hanya menerima DBH (Dana Bagi Hasil) yang jumlahnya tidak sebanding dengan nilai ekspor.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:




