Tugas Filsafat Hukum “Hubungan Hukum dan Kekuasaan” 

Jumat 12-11-2021,21:02 WIB

Oleh: Rachmad Surya Lubis
P3B121028
 
Pada kehidupan bermasyarakat, kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum karena kekuasaan bukan hanya merupakan instrumen pembentukan hukum (law making), tapi juga instrumen penegakan hukum (law enforcement). Pembentukan hukum, khususnya undang-undang, dilakukan melalui mekanisme kekuasaan politik dalam lembaga legislatif di mana kepentingankepentingan kelompok masyarakat yang saling bertentangan diupayakan untuk dikompromikan guna menghasilkan satu rumusan kaidah-kaidah hukum yang dapat diterima semua pihak. Penegakan hukum merupakan upaya untuk mendorong masyarakat agar mentaati aturan-aturan hukum yang berlaku (upaya preventif) dan penjatuhan sanksi hukum terhadap kasuskasus pelanggaran hukum yang terjadi dalam masyarakat (upaya represif).
 
Dalam hal ini hukum juga mempunyai arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembagalembaga negara, unit-unit pemerintahan, pejabat negara dan pemerintahan. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan-aturan hukum. Di samping itu, hukum dapat pula berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggung jawabkan secara legal dan etis.
 
Pembagian lebih rinci dalam karakter hubungan hukum dan kekuasaan, khususnya dalam hal legalisasi kekuasaan dan penegakan hukum, dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam satu ungkapkan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Ungkapan tersebut, pada satu sisi, mengandung arti bahwa kaidah-kaidah hukum tidak akan ada manfaatnya jika tidak ditegakkan, dan hukum itu hanya dapat ditegakkan dengan kekuasaan. Pada sisi lain, ungkapan itu bermakna bahwa kekuasaan tanpa landasan hukum adalah kesewenang-wenangan.
 
Esensi Kekuasaan
 
Kekuasaan adalah  konsep hubungan sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, negara, dan umat manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan personal di antara dua insan yang berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan subjek dengan objek yang dikuasainya. Karena kekuasaan memiliki banyak dimensi, maka tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi, hukum dan kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan.
 
Dikemukakan Max Weber, dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1992) mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.” 
 
Perumusan kekuasaan yang dikemukakan Weber dijadikan dasar perumusan pengertian kekuasaan oleh beberapa pemikir lain Misalnya, Strausz-Hupe2 mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan kemauan pada orang lain” Demikian pula pengertian yang dikemukakan oleh C. Wright Mills3 , “kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya kekuasaan mempunyai sifat memaksa”.
 
Di samping pengertian kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak atau kemauan kepada pihak lain, beberapa pakar mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi tingkah laku pihak lain. Harold D.Laswell,5 dan Abraham Kaplan mengatakan bahwa “kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai tujuan dari pihak pertama.
 
Dalam kaitannya dengan permasalahan kenegaraan, kekuasaan dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara berkaitan dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat berjalan secara lancar. Ketidakseimbangan diantara keduanya akan mendorong terjadinya kekuasaan hegemonik di mana negara sangat kuat dan masyarakat sangat lemah, sehingga tercipta pola hubungan dominatif dan eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan dan kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan masyarakat yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya.
 
 
Esensi Hukum
 
Tentang esensi hukum dapat dikemukakan bahwa ada perbedaan pandangan di antara para ahli hukum tentang hukum. Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka kemukakan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun ada perbedaan pandangan, namun pengertian itu dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok.
 
Pertama, hukum diartikan sebagai nilai-nilai. Misalnya, Victor Hugo yang mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Sejalan dengan pengertian tersebut, Grotius8 mengemukakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu yang benar. Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai berarti memahami hukum secara filosofis karena nilai-nilai merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah hukum.
 
Kedua, hukum diartikan sebagai asas-asas fundamental dalam kehidupan masyarakat Definisi hukum dalam perspektif ini terlihat dalam pandangan Salmond9 yang mengatakan “hukum merupakan kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan”.
 
Dalam konteks ini hakekat hukum bisa ditinjau dari empat perspektif, yaitu perspektif otoritas (wewenang), perspektif substantif, perspektif sosiologis, dan perspektif realis. Perspektif otoritas merupakan pandangan paham positivisme yang menempatkan keabsahan hukum pada otoritas pembentukan dan penegakan hukum.
 
Dalam hal ini terdapat perbedaan otoritas perspektif substantif tidak melihat keabsahan hukum dari sudut otoritas yang membentuk hukum tersebut, tapi dari muatan atau isi yang terkandung dalam kaidah-kaidah hukum tersebut. Pandangan ini tergambar dari pandangan John Locke yang mengemukakan bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.
 
Perspektif historis meninjau keabsahan hukum berdasarkan kebudayaan masyarakat, khususnya dalam jiwa rakyatnya. Von Savigny menggambarkan bahwa keseluruhan hukum terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, di mana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
 
Perspektif sosiologis meninjau keabsahan hukum itu dari sudut kemampuan atau daya kerja hukum mengatur kehidupan masyarakat. Pertanyaan pokoknya adalah, apakah hukum itu dapat berlaku secara efektif untuk mengatur kehidupan masyarakat. Hakekat hukum menurut perspektif sosiologis adalah hukum yang sesuai dengan fakta-fakta sosial. Lundstedt mengemukakan hukum sungguh-sungguh berwujud eksistensi dari fakta-fakta sosial, yang secara keseluruhan berbeda dari sekedar ilusi.
 
Hubungan Hukum dan Kekuasaan
 
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubunganhubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Struktur kekuasaan menurut UUD 1945 menempatkan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di bawah MPR adalah kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, yaitu presiden, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). UUD 1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan pusat dan daerah. Di samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, dan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.
 
Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivecrona tak lain daripada “kekuatan yang terorgansasi”, dimana hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”, kekerasan fisik atau pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari kekerasan yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh.
 
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi
Tags :
Kategori :

Terkait