BACA JUGA:Simak! Ini 4 Kesalahan Berat ASN dan PPPK yang Wajib Dihindari, Langsung Dipecat
Menurutnya, kasus ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara regulasi dan implementasi perlindungan korban kekerasan seksual.
Padahal, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah memberikan dasar hukum yang jelas.
"Di lapangan, kecepatan respons sangat bergantung pada kepekaan aparat. Pelaku seharusnya sudah diamankan dalam hitungan jam, bukan berhari-hari setelah laporan dibuat," tegas Nurul.
Nurul juga mengkritik minimnya perhatian pemerintah desa dan aparat setempat sejak awal. Bahkan, korban disebut harus membayar sendiri biaya visum di rumah sakit.
BACA JUGA:Harga Emas Antam Hari Ini Turun Rp177 Ribu, Jadi Rp2,3 Juta
"Ini bukan hanya tentang pelaku yang kabur, tapi juga tentang absennya negara dalam menjamin keamanan korban sejak hari pertama," lanjutnya.
Tim pendamping kini telah berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melakukan asesmen dan memberikan perlindungan kepada korban, termasuk pengajuan restitusi.
LPSK dijadwalkan segera bertemu langsung dengan korban untuk menindaklanjuti pendampingan hukum.
"Jika negara menjalankan mandat UU TPKS secara sungguh-sungguh, korban seperti SF tidak akan dibiarkan hidup dalam ketakutan," ujar Nurul yang juga alumnus UIN KHAS Jember.
BACA JUGA:Mulai Hari Ini, Satgas Pengendalian Harga Beras Provinsi Jambi Turun ke Lapangan
Ia menegaskan, Fatayat NU Jember dan tim pendamping hukum akan terus mengawal proses hingga pelaku tertangkap dan dihukum seadil-adilnya.
Sementara itu, Pelaksana Harian Kapolsek Balung, Ipda Sentot, membantah adanya kelambatan penanganan.
"Sejak laporan diterima, pelaku memang sudah tidak ada di rumah. Kami sudah memeriksa korban dan saksi, serta terus melacak keberadaan pelaku. Kami juga meminta bantuan masyarakat untuk memberikan informasi," jelasnya.