Menurutnya, status nonaktif bukan sekadar simbolik, karena anggota yang dinonaktifkan tidak bisa lagi beraktivitas seperti biasa di DPR dan tidak memperoleh fasilitas yang melekat.
BACA JUGA:Saat Memanasnya Konflik, Ini Cara Cerdas Leo Mempertahankan Hubungan!
"Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR," kata Nazaruddin, dikutip dari beritasatu.com.
Namun, jika merujuk pada UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, tidak ada istilah "penonaktifan" anggota DPR.
Dalam UU MD3, status keanggotaan DPR hanya dapat berubah melalui tiga mekanisme resmi:
1. Pemberhentian antarwaktu, berlaku jika anggota meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
2. Penggantian antarwaktu (PAW), dilakukan sesuai dengan keputusan partai politik.
3. Pemberhentian sementara, jika anggota menjadi terdakwa tindak pidana umum dengan ancaman penjara minimal 5 tahun atau tindak pidana khusus.
Dengan demikian, penonaktifan yang dilakukan partai politik tidak serta-merta mengubah status hukum anggota DPR.
Pandangan Ahli Soal Dinonaktifkan
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan istilah nonaktif tidak dikenal dalam UU MD3.
Menurutnya, langkah parpol menonaktifkan kader hanya merupakan kebijakan internal, bukan mekanisme hukum yang berdampak pada keanggotaan DPR.
"Mereka masih sah sebagai anggota DPR, tetap berhak menerima gaji dan fasilitas," ujarnya kepada wartawan.
BACA JUGA:NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Anggota DPR RI
Titi menilai, demi menjaga marwah pribadi dan kredibilitas partai, lebih terhormat jika anggota DPR yang bersangkutan memilih mengundurkan diri secara sukarela.