b9

Revitalisasi Pasar TAC Tak Otomatis Mendatangkan Pembeli

Revitalisasi Pasar TAC Tak Otomatis Mendatangkan Pembeli

Dr Noviardi Ferzi-ist/jambi-independent.co.id-

JAMBI, JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Rencana Wali Kota Jambi untuk merevitalisasi Pasar TAC tampak ambisius.

Pemerintah Kota (Pemkot) menjanjikan penataan ulang sarana dan prasarana, memperluas parkir, hingga menghadirkan festival ekonomi kreatif.

Tujuannya mulia: menghidupkan kembali denyut ekonomi rakyat yang kian lesu. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kebijakan ini berpotensi menjadi proyek kosmetik yang tidak menyentuh akar masalah.

Para pedagang memang mengeluhkan turunnya omzet pascapandemi. Namun faktor utama lesunya Pasar TAC bukan semata kondisi fisik bangunan, melainkan perubahan perilaku konsumen.

BACA JUGA:Ketika Rakyat Turun ke Jalan: Peringatan untuk Elite yang Terlena

Saat ini, masyarakat lebih banyak berbelanja secara daring melalui e-commerce atau toko modern ketimbang datang ke pasar tradisional.

Laporan Google–Temasek–Bain (2022) menunjukkan nilai ekonomi digital Indonesia, khususnya e-commerce, mencapai US$73 miliar dan diproyeksikan menembus US$95–120 miliar pada 2025 (ecdb.com, 2024).

Data PCMI (2025) bahkan mencatat pasar e-commerce Indonesia sudah mencapai US$75 miliar, dengan 67% transaksi berasal dari perangkat seluler.

Pergeseran ini menandakan bahwa pasar tradisional bukan lagi pilihan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BACA JUGA:Kalem dan Santun, Zodiak Ini Dikenal Soft Spoken

Fenomena kegagalan revitalisasi pasar bukan hal baru. Di Jakarta, proyek revitalisasi Pasar Senen Blok VI sempat mangkrak bertahun-tahun karena kurangnya dukungan pedagang dan minimnya strategi bisnis baru (beritajakarta.id, 2015).

Bangunan pasar memang baru, tetapi pembeli tetap enggan datang karena pola belanja sudah beralih ke online.

Hal serupa juga ditemui di beberapa pasar tradisional di Bandung dan Surabaya yang setelah direnovasi tetap sepi.

Sebuah analisis publik (Kompasiana, 2025) menyoroti kegagalan revitalisasi yang hanya fokus pada fisik, sementara masalah utama adalah pungutan yang memberatkan pedagang dan beralihnya konsumen ke platform digital. Artinya, membangun gedung baru tidak otomatis mendatangkan pembeli.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait