AWARDS
b9

Geopark Merangin: Antara Kebanggaan Global dan Penderitaan Lokal

Geopark Merangin: Antara Kebanggaan Global dan Penderitaan Lokal

Noviardi Ferzi-dok/jambi-independent.co.id-

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Revalidasi Merangin JAMBI UNESCO Global Geopark (MJUGGp) pada 2026 kerap dipandang sebagai agenda penting untuk mempertahankan status “green card”. Narasi yang muncul umumnya optimis dan penuh semangat konservasi.

Namun, di balik semangat itu, ada persoalan mendasar yang perlu dikritisi: apakah status UNESCO benar-benar menjamin kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan, ataukah hanya berhenti sebagai simbol prestise internasional?

Menjadikan status UNESCO sebagai tujuan utama adalah sebuah jebakan simbolisme. Pengakuan dunia sering kali hanya berfungsi sebagai alat pencitraan global, tanpa otomatis menghadirkan kesejahteraan lokal.

Sebuah studi terbaru oleh González-Tejada et al. (2021) menegaskan bahwa meskipun geopark berperan penting dalam promosi pariwisata, kontribusi ekonominya kerap tidak merata dan justru menimbulkan ketimpangan baru antara pelaku wisata dan masyarakat akar rumput.

BACA JUGA:Ed Sheraan hingga Mariah Carey, Berikut Rilisan Musik Paling Ditunggu di September 2025

Dengan kata lain, mempertahankan status “green card” tidak serta merta menjawab persoalan mendasar rakyat Merangin.

Orientasi yang terlalu administratif juga patut dipertanyakan. Fokus pada penyusunan dossier, keterlibatan pakar, dan mekanisme evaluasi UNESCO memang penting, tetapi pengalaman di banyak daerah menunjukkan bahwa lolos dari tahapan birokratis global bukan jaminan tata kelola di lapangan membaik.

Penelitian Astuti dan Nugraha (2020) tentang Geopark Ciletuh-Palabuhanratu menunjukkan bahwa meskipun telah diakui UNESCO, problem kelembagaan, tumpang tindih tata ruang, serta lemahnya partisipasi masyarakat tetap menjadi hambatan serius.

Ini membuktikan bahwa persoalan substantif jauh lebih kompleks daripada sekadar administrasi.

BACA JUGA:Level Berapa Kesulitan Mendaki Gunung Kerinci? Lihat Urutannya

Kesenjangan struktural pun tidak boleh diabaikan. Data tentang ratusan warga yang terlibat dalam sektor geowisata sekilas terdengar positif, namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Merangin yang mencapai ratusan ribu jiwa, jelas keterlibatan tersebut masih sangat kecil.

Tanpa kebijakan yang sungguh-sungguh memberdayakan masyarakat adat, petani, dan pelaku UMKM, geopark akan tetap menjadi proyek elit yang lebih banyak menguntungkan birokrasi dan investor wisata ketimbang rakyat kebanyakan.

Temuan serupa juga diungkap oleh Xu et al. (2022) yang mencatat bahwa banyak geopark di Asia menghadapi kesenjangan antara narasi pemberdayaan dan kenyataan distribusi manfaat di lapangan.

Lebih jauh lagi, terdapat kontradiksi besar yang melingkupi geopark di Jambi. Di satu sisi kita bicara konservasi fosil purba yang berusia ratusan juta tahun, di sisi lain ruang hidup Jambi masih dikepung ekspansi tambang emas ilegal, batubara, dan perkebunan sawit yang destruktif.

BACA JUGA:Tips Pendekatan dengan Zodiak yang Sedang Cemburu, Biar Hubungan Tetap Harmonis

Bagaimana mungkin geopark dapat dijadikan model pembangunan berkelanjutan jika pemerintah daerah tetap memberi karpet merah pada industri ekstraktif yang justru merusak ekosistem yang ingin dilestarikan? Persoalan ini nyata dan relevan, namun sering absen dalam analisis publik.

Padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh Boley dan Perdue (2021), keberhasilan geopark hanya mungkin terjadi jika terdapat konsistensi antara kebijakan konservasi dan arah pembangunan daerah.

Akhirnya, terlalu menekankan revalidasi UNESCO justru berpotensi menyesatkan arah pembangunan. Kita seolah bekerja demi “green card”, bukan demi rakyat Merangin itu sendiri.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait