Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan

Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan

Berdasarkan prinsip negara hukum dan prinsip kedaulatan rakyat, segala bentuk keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan (diskresi) harus berdasarkan atas hukum dan kedaulatan rakyat yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Sedangkan pada keadaan dewasa ini, pemerintahan memiliki kebijakan agar tidak ada upaya kriminalisasi terhadap kebijakan (diskresi) dalam penyelenggaraan proyek strategis nasional karena dapat menghambat proses kemajuan pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) lahir untuk mengisi kekosongan hukum yang menjadi dasar perlindungan terhadap pengambilan keputusan dan/atau tindakan (diskresi) dari badan dan/atau pejabat pemerintahan dan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan diskresi itu sendiri. Oleh karenanya UUAP mengatur dikresi dengan ruang lingkupnya, persyaratan, prosedur penggunaan dan akibat hukum serta pertanggung jawabannya.

Undang-undang administrasi pemerintahan menegaskan sekaligus mengingatkan kembali kepada kita semua atau seakan ingin mengajak kita bersama untuk mencetak tebal kembali frasa “negara Indonesia merupakan negara hukum” untuk dapat dijadikan landasan asas, prinsip, dan dogma bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Adapun penegasannya tersebut dengan menyatakan bahwasanya Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum dengan kedaulatan yang berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Keadaan hukum yang demikian menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa sistim penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip negara hukum1 dan prinsip kedaulatan rakyat

Hakekat hukum administrasi adalah hukum yang berkaitan dengan wewenang pemerintah, dan kontrol terhadap penggunaan wewenang yang tujuannya untuk melindungi individu atau masyarakat disisi lain, sehingga penggunaan wewenang pemerintahan tanpa suatu pengawasan, potensial terhadap penyimpangan yang berakibat tindak pidana korupsi. Setiap penggunaan kewenangan apapun bentuknya apakah dalam rangka pengaturan, pengawasan, maupun penentuan sanksi oleh badan pemerintah selalu disertai dengan adanya tanggung jawab. Hal ini merupakan suatu keharusan, oleh karena di dalam konsep hukum administrasi pemberian kewenangan dilengkapi dengan pengujiannya, dan bahwa kesalahan dalam penggunaan kewenangan selalu berakses ke pengadilan, sehingga menjamin perlindungan hukum.8 Beranjak dari pemahaman dasar tersebut, maka UUAP juga mengatur pertanggung jawaban penggunaan diskresi itu sendiri. Berangkat dari paparan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diketengahkan dalam penulisan ini berupa apa latar belakang pengaturan hukum penggunaan diskresi dalam Undang-Undang Adminisrasi Pemerintahan?, serta bagaimana pertanggung jawaban penggunaan diskresi menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan?

Secara sederhana pembacaan UUAP dengan kandungan politik hukumnya yang bertalian dengan penggunaan diskresi (keputusan dan/atau tindakan) oleh badan atau pejabat administrasi pemerintahan, dapat dipahami antara lain UUAP sebagai instrumen legal policy atau garis (kebijakan) resmi yang memuat garis besar dan dasar rencana pemerintah sebagai landasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang bertujuan utama yaitu pertama, untuk mengisi kekosongan hukum yang menjadi dasar perlindungan terhadap pengambilan keputusan dan/atau tindakan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan diharapkan bisa menjadi landasan hukum untuk mengenali sebuah keputusan dan/atau tindakan sebagai kesalahan administrasi atau penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tindak pidana, Dengan demikian pembuat keputusan tidak mudah dikriminalisasi dan melemahkan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus menjaga agar badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak mengambil keputusan dan/atau tindakan sewenang-wenang. Masyarakat terlindungi dari kesewenangwenangan dan praktek mal administrasi pejabat.

Kedua, untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah (preventif) penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan (diskresi) oleh Pejabat Pemerintahan guna memperkuat konsep dan implementasireformasi birokrasi demi terwujudnya penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta pelayanan publik yang baik.

Elemen Negara Hukum Pancasila seharusnya di-internalisasi-kan ke dalam usaha penyelesaian pertanggung jawaban penyalahgunaan wewenang pada diskresi (keputusan dan/atau tindakan) yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi dengan jenis/bentuk kerugian keuangan negara. Hal tersebut dapat dikatakan merupakan hasil pemikiran rasional yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pertama, politik hukum [garis besar atau dasar rencana pemerintah dalam UUAP yang berhubungan dengan penggunaan diskresi oleh badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang berupa legal policy atau garis (kebijakan) resmi yang memuat garis besar dan dasar rencana pemerintah sebagai landasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan itu sendiri. Kedua, proses penegakan hukum bagi pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan jenis/bentuk kerugian keuangan negara yang berhubungan dengan penggunaan diskresi, terlebih dahulu harus menggunakan norma-norma hukum yang digunakan oleh pejabat ketika melakukan aktifitasnya, yakni hukum administrasi yang secara konsepsional memiliki asas, norma, dan sifat yang berbeda dengan hukum pidana. Ketiga, terlebih persoalan kebebasan untuk melakukan kebijakan (freis ermessen-discretionary power) yang merupakan permasalahan yang berada dalam domain hukum administrasi, sehingga tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mejatuhkan pidana. Dengan demikian pembuat keputusan dan/atau tindakan (diskresi) tidak mudah dikriminalisasi dan melemahkan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintah.

Diskresi Untuk Solusi Penanggulangan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi  juga diberbagai negara di dunia mengalami hal yang sama. Akibat covid-19 ini, banyak kegiatan masyarakat yang lumpuh, baik perekonomian dan kehidupan social, bahkan yang lebih fatal lagi yaitu kesehatan yang membawa pada kematian. Penanganan kondisi luar biasa ini memerlukan keputusan yang cepat dan tepat dari penyelenggara pemerintah dalam menangani dan mencegah penyebaran covid-19. Dicermati pemberitaan di berbagai media, semakin hari perkembangan grafik covid-19 bukannya melandai tetapi justru grafik menunjukkan peningkatan jumlah yang terpapar covid-19. Bahkan pertanggal 21 Mei 2020 terjadi lonjakan dalam satu hari yakni 973 warga positif covid-19. Pemerintah sejak awal telah menerbitkan beberapa peraturan Perundang-undangan terkait pencegahan dan penanganan covid-19. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar ditetapkan tanggal 31 Maret 2020, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ditetapkan tanggal 31 Maret 2020, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 (ditetapkan tanggal 31 Maret 2020) yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan menjadi undang-undang, yang diundangkan tanggal 16 Mei 2020. Pada tanggal 13 Maret 2020, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (covid-19). Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) menyatakan, Gubernur dan Bupati/Walikota membentuk gugus tugas percepatan penanganan covid-19 daerah, dan ayat (2) dinyatakan bahwa penanganan COVID-19 di daerah dilakukan dengan memperhatikan arahan ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan covid-19. Selanjutnya, tanggal 20 Maret 2020 ditetapkan Keputusan Presiden  Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020. Berbagai reaksi dari Kepala Daerah dalam merespon kebijakan pemerintah pusat untuk menangani dan mencegah penyebaran covid-19. Belajar dari beberapa negara yang telah mulai membaik seperti Negara Taiwan, seharusnya Indonesia dan terutama Kepala Daerah dapat mengatasi penyebaran covid-19. Secara substansi hukum, peraturan telah cukup melandasi setiap kebijakan yang diambil Pemerintah, dan secara struktur hukum juga petugas yang bertugas dilakukan oleh aparat Kementerian/Lembaga hingga pemerintah daerah, namun secara budaya atau kesadaran hukum diperlukan pemahaman bersama terkait pentingnya kepatuhan terhadap aturan atas pencegahan covid-19. Persoalan dan Solusi Penyelenggara pemerintah sibuk dengan administrasi sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam bertindak apalagi menyangkut penggunaan anggaran, sehingga keputusan dalam mengambil kebijakan penanganan dan pencegahan covid-19 berlarut-larut. Mungkin ingin mengedepankan asas kehati-hatian dari penyelenggara pemerintahan atau khawatir jika salah mengambil kebijakan akan berhadapan dengan aparat penegak hukum. Mencermati Keppres No. 11/2020, intinya menegaskan bahwa upaya penanggulangan covid-19 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, peraturan ini dapat membatasi penyelenggara pemerintahan dalam bertindak. Sebenarnya sifat kedaruratan dan mendesak maka penyelenggara pemerintahan dapat mengambil kebijakan dengan diskresi dalam menyelesaikan, dan bertindak konkrit dalam upaya penanggulangan covid-19 sebagaimana diatur dalam UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika diskresi tersebut menimbulkan penggunaan anggaran negara/daerah, maka diperlukan persetujuan atasannya, sehingga proses ini jika dipatuhi maka tidak ada keragu-raguan penyelenggara pemerintahan dalam bertindak, tidak harus menunggu diundangkannya UU No. 2/2020 yang sejak awal muncul polemik. Persoalan yang dihadapi di daerah tidak hanya masalah dalam melayani pasien yang terpapar covid, masalah lainnya yakni pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat sebagai akibat kebijakan pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ataupun pembatasan kegiatan masyarakat dalam menangani covid-19. Masing-masing kepala Daerah mengajukan permohonan kepada Menteri Kesehatan RI agar daerahnya dijadikan sebagai daerah/wilayah PSBB. Terdapat juga kepala daerah yang tidak mengajukan PSBB dengan berbagai alasan terutama masalah perekonomian, tetapi lebih memilih menerapka pembatasan kegiatan masyarakat.

Penerapan PSBB memiliki konsekuensi hukum, dalam Pasal 4 ayat (3) PP No. 21/2020 menyatakan bahwa, PSBB dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk, bukan berarti pembatasan kegiatan masyarakat, penyelenggara pemerintahan tidak berkewajiban memperhatikan kebutuhan warga. Mencermati pemberitaan di media dan juga media sosial, keluhan warga membludak atas tidak diterimanya bantuan sosial (bansos) dan penyalurannya yang tidak tepat sasaran serta berlarut-larutnya tindakan pemerintah dalam bertindak. Ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik juga telah menerima laporan masyarakat selama masa darurat covid-19, Dampak covid-19 ini, banyak pekerja yang dirumahkan bahkan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Akibatnya, warga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga mengandalkan bantuan dari semua pihak termasuk pemerintah. Berbagai sumber dan jenis bantuan seperti bantuan dari Pemerintah Pusat, Jaring Pengaman Sosial dari Pemprov dan juga bantuan sosial dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Berbagai upaya Kepala Daerah dalam mengatasi persoalan Kondisi Luar Biasa ini di Daerah, namun tetap saja belum sesuai harapan publik.

Kondisi saat ini masyarakat sangat membutuhkan bantuan, tidak cukup penyelenggara pemerintahan hanya merencanakan, mendistribusikan anggaran ataupun memberikan bansos, tetapi juga perlu memastikan tersampaikan dan diterimanya bantuan sosial tepat sasaran kepada masyarakat yang membutuhkan atau. Selain itu, penyelenggara pemerintahan diharapkan kehadirannya untuk menyelesaikan setiap keluhan/laporan warga atas bantuan sosial secara cepat dan terukur selama masa darurat pandemic covid-19.(*)

(Penulis Merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: