Dugaan Kartel di Balik Harga Minyak Goreng yang Melambung Tinggi

Dugaan Kartel di Balik Harga Minyak Goreng yang Melambung Tinggi

Hampir semua judul berita menyatakan kenaikan harga minyak goreng sebuah ironi bagi Indonesia. Dikatakan ironi karena Indonesia merupakan penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Ironi ini banyak efek dominonya, yang paling gampang, harga sepotong gorengan di pinggir jalan juga naik, paling tidak ukurannya menjadi kian ramping.

Kenaikan ini susah dicerna dengan logika masyarakat yang sederhana, bahwa Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri dan telah memproduksi CPO dalam jumlah besar, seharusnya harga minyak goreng bukan masalah. Ternyata harga minyak goreng masih mahal, menggerus pengeluaran rumah tangga dan usaha kecil.

Ironi ini makin menjadi, mengingat pemerintah telah memberikan izin jutaan hektar pemanfaatan lahan negara untuk banyak perusahaan sawit melalui HGU, pemerintah tidak bisa mengontrol harga minyak goreng yang dijual produsen di pasar domestik.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada praktik kartel di balik meroketnya minyak goreng di Indonesia. YLKI menyebutkan ada beberapa indikasi perilaku kartel di balik kenaikan harga minyak goreng di negara pengekspor sawit terbesar dunia ini.

Indikasi kartel paling tampak dari lonjakan harga minyak goreng, adalah kenaikan harga minyak secara serempak dalam waktu bersamaan. Di sisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.

Masalahnya jika kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen.

Sinyal kartel dibalik mahalnya harga minyak goreng belakangan ini, terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga minyak goreng dengan relatif kompak, baik di pasar tradisional, di ritel modern, di pabrik perusahaan menaikkan bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri-sendiri. 

Dugaan kartel ini berkaitan dengan terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Logikanya, jika CPO-nya milik sendiri, harga minyak goreng tidak naik secara bersama-sama.

Akar masalahnya pasar industri minyak goreng di Indonesia cenderung mengarah ke struktur yang oligopoli. KPPU mencatat dalam data consentration ratio (CR) yang dihimpun pada 2019, ada empat industri besar tampak menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia. Ini sesuatu yang sudah kurang sehat, rentan terjadi oligopoli market yang merugikan konsumen.

Prioritas Eksport CPO Tidak Tepat

Masalah harga minyak goreng ini makin membuat urut dada, jika kita bandingkan Negeri Jiran Malaysia yang juga produsen sawit dunia terbesar dunia dan memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, harga minyak gorengnya tetap murah. Harga minyak goreng disana, Rp 8.500 per Kg. Harga ini jauh lebih murah dari harga minyak goreng Indonesia.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Halehwal Pengguna (KPDNHEP), pemerintah Malaysia menetapkan harga minyak masak, sebutan minyak goreng di Malaysia, untuk kemasan sederhana adalah sebesar RM 2,5 atau setara dengan Rp 8.500 (kurs Rp 3.400) per kilogram.

Sedangkan harga minyak goreng di Indonesia tembus rata-rata Rp 20.000 per Kg. Mengutip laman Pusat Informasi Pangan Strategis Nasional (PIHPS) pada Sabtu (8/1/2022), harga minyak goreng per kilogramnya dijual di kisaran Rp 19.000 sampai dengan Rp 24.000.

Padahal sebelum melonjak, harga minyak nabati ini berkisar Rp 11.000 hingga Rp 13.000 tergantung kemasannya. Sementara secara rata-rata nasional, harga minyak goreng di Indonesia saat ini untuk minyak goreng kemasan bermerek adalah Rp 20.900 per kilogram. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: