Kebijakan Pro Kepala Daerah Petinggi Partai Di Jakarta

Kebijakan Pro Kepala Daerah Petinggi Partai Di Jakarta

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Meminjam cara pandang Pierre Bourdieu tentang kuasa simbolik dan teori Herbert E. Alexander tentang pendanaan politik, maka kuasa uang dalam parpol dibedah lebih jauh. Menggunakan pendekatan studi pustaka, tulisan ini mendudukan lebih cermat apa resikonya jika cara pandang tentang uang mengendalikan parpol dalam mekanisme representasi. Parpol bisa mengebiri prinsip salus populi suprema lex, yakni kepentingan rakyat sebagai hukum tertinggi.

Mekanisme representasi rakyat melalui parpol dan penentuan hasil yang legitimate dalam pemilu, adalah bayangan ideal tentang cara terdemokratis menjaring kehendak umum (volonte generale) rakyat.

Sayangnya, demokrasi ideal ini seringkali menjadi imajinasi belaka karena tatanan ideal yang diidamkan tidak kunjung hadir. Parpol yang diharapkan sebagai wadah menampung aspirasi, hanya menjadi kerumunan elit - elit yang ternyata jauh dari rakyat, bahkan tidak jarang wajah parpol bopeng karena skandal korupsi.

Meski bukan hal baru, trend laris manisnya kepala daerah dijadikan nahkoda partai politik adalah fenomena politik. Di Jambi hegemoni ini sangat kuat. Saking hegemoninya, empat kepala daerah menjadi ketua partai tingkat provinsi. 

Dalam kacamata politik kekuasaan, tentu tak ada yang salah jika ketua partai politik dijabat oleh kepala daerah, artinya, semua bisa - bisa saja. Maka ketika H. Cek Endra Bupati Sarolangun yang menjadi Ketua DPD 1 Partai Golkar Jambi, lalu Walikota Jambi Sy Fasha yang loncat pagar dari Golkar ke Partai Nasdem, kemudian Fadhil Arief Bupati Batanghari yang menjabat Ketua DPW PPP dan terakhir H. Mashuri Bupati Bungo memegang DPD Demokrat, ini hal normal bagian dari riuh rendahnya demokrasi. Bagian dari strategi dari partai politik yang bersangkutan.

Meski tak ada yang salah, tulisan ini mencoba menganalisis fenomena ini dari sudut hipotesis yang melatarinya. Bagian dari pembelajaran bagaimana logika elit partai tempat suara rakyat akan dilabuhkan. Logika kekuasaan yang dibentuk dari jaringan para penguasa. Kekuasaan Politik Partai lahir dari Kekuasaan Kepala daerah.

Sebenarnya tidak sulit memahami asumsi yang menjadi latar belakang DPP Partai di Jakarta menjadikan para Bupati dan Walikota sebagai pimpinan partai di daerah. Salah satunya adanya doktrin berpikir " orang Jakarta"  tentang politik kekuasaan Indonesia hari ini.

Doktrin ini begitu meyakini dengan telak bahwa membangun kebesaran suatu partai kekuatan sumber daya khususnya finansial yang dimilikinya. Saking fanatiknya mereka meyakini hal ini, petinggi partai di Jakarta tidak berpikir dua kali untuk membuang kader internal, jika ada Gubernur, Bupati dan Walikota yang mau memimpin partai mereka di daerah.

Di akui atau tidak petinggi partai politik mempraktekan salah satu pilar doktrin Machiavelli tentang menjaga kebesaran partai membutukan sumber daya finansial, jaringan atau ketokohan. Meski soal jaringan para kepala daerah itu masih bisa diperdebatkan, namun kekuatan finansial sesuatu yang tak terbantahkan, ada jikapun ada alasan ketokohan dibalik rekruitmen ini tentu tidak sekuat alasan finansial.

Padahal kemandirian dari sisi finansial tidak jadi faktor yang menentukan bagaimana partai di daerah untuk menggaruk dukungan. Faktor finansial bukan yang paling utama untuk menghadapi sebuah perhelatan pilkada bagi partai politik, akan tetapi kebutuhannya tidak dapat dipungkiri. Artinya, membangun sebuah kemandirian dari sisi finansial partai di daerah sangat mutlak dibutuhkan. Pemahaman inilah yang melatar belakangi kebijakan pro kepala daerah di ambil oleh DPP Partai.

Intropeksi Kader Internal Partai 

Secara internal fenomena laku kerasnya kepala daerah ini sebenarnya oto kritik terhadap kader internal partai. Meski batasan definisi kader internal di parpol amat longgar, tapi setidaknya kata kata internal merujuk pada aktivis partai yang meniti karir dari bawah suatu partai.

Sebagai kader mereka inilah yang mengurus partai dengan segala kebutuhannya. Mulai dari rekruitmen keanggotaan, membangun infrastruktur partai, kaderisasi hingga program - program yang menjadi keseharian aktivis partai. Tentu, menjadi ironi ketika hanya alasan kebutuhan sumber daya mereka harus tersisihkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: