Omnibus Law Tak Melegitimasi Kerusakan Lingkungan : Belajar dari Kasus PT SAS Jambi

Noviardi Ferzi-dok/jambi-independent.co.id-
BACA JUGA:Telkomsel Hadirkan Paket RoaMAX Umroh Solusi Komunikasi Mudah dan Terjangkau di Tanah Suci
Ini menunjukkan bahwa proyek-proyek dengan potensi dampak signifikan tetap harus melewati proses evaluasi yang ketat. Ke dua, Pasal 24 (perubahan Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2009): Mengatur komponen-komponen yang harus dimuat dalam dokumen AMDAL.
Detil ini memastikan bahwa penilaian dampak lingkungan dilakukan secara komprehensif. Ketiga, Pasal 33 (perubahan Pasal 33 UU No. 32 Tahun 2009): Mengatur izin lingkungan, yang kini terintegrasi sebagai "Persetujuan Lingkungan" dalam perizinan berusaha.
Penting untuk digarisbawahi bahwa substansi pemenuhan standar dan baku mutu lingkungan tetap berlaku, menegaskan bahwa perubahan nomenklatur tidak berarti pelonggaran standar.
Empat, Pasal 38 (perubahan Pasal 38 UU No. 32 Tahun 2009): Menegaskan kewajiban setiap orang untuk memenuhi standar baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
BACA JUGA:Ini Zodiak yang Paling Suka Main Hati Saat PDKT, Bikin Baper Lalu Hilang!
Pasal ini secara langsung membebankan tanggung jawab pada pelaku usaha untuk menjaga kualitas lingkungan.
Lima, Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja: Tetap mempertahankan sanksi pidana dan denda bagi pelanggaran yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Keberadaan sanksi ini adalah penegasan kuat bahwa UU tidak memberikan impunitas bagi pelanggar lingkungan.
Pasal-pasal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Omnibus Law tidak hanya sekadar "tidak melegitimasi", tetapi secara aktif mengamanatkan perlindungan lingkungan melalui mekanisme AMDAL, persetujuan lingkungan, kewajiban memenuhi baku mutu, dan sanksi pidana.
Apabila terjadi perusakan lingkungan, hal tersebut bukan karena legitimasi dari undang-undang, melainkan karena penyimpangan dalam implementasi, pengawasan yang lemah, atau pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas.
BACA JUGA:Dukung Program Asta Cita, Kapolda Jambi Resmikan SPPG
Kasus penolakan PT SAS di Kelurahan Aur Kenali dan Mendalo Darat, Muaro Jambi, menjadi cerminan nyata bagaimana dugaan penyimpangan implementasi regulasi dapat memicu konflik serius.
Warga setempat menolak proyek tersebut karena merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan, sebuah tindakan yang melanggar prinsip partisipasi publik.
Salah satu poin krusial yang memperkuat argumentasi bahwa proyek PT. SAS merupakan pelanggaran hukum lingkungan adalah dugaan pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi.
Lokasi pembangunan TUKS dan stockpile batubara PT. SAS di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura (atau Alam Barajo), Kota Jambi, secara tegas bertentangan dengan Perda Kota Jambi Nomor 9 Tahun 2013 tentang RTRW Kota Jambi Tahun 2013-2033 (yang kemudian diganti oleh Perda Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang RTRW Kota Jambi Tahun 2024-2044).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: