Omnibus Law Tak Melegitimasi Kerusakan Lingkungan : Belajar dari Kasus PT SAS Jambi

Omnibus Law Tak Melegitimasi Kerusakan Lingkungan : Belajar dari Kasus PT SAS Jambi

Noviardi Ferzi-dok/jambi-independent.co.id-

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, atau yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), secara normatif tidak memberikan ruang bagi praktik pelanggaran atau perusakan lingkungan atas nama investasi.

Meskipun tujuan utamanya menyederhanakan perizinan, UU ini tetap mengamanatkan perlindungan lingkungan sebagai prinsip yang tak terpisahkan dari setiap kegiatan usaha.

Namun, kekhawatiran yang kian memuncak muncul akibat implementasi yang tidak sesuai, penyalahgunaan izin, atau kelemahan pengawasan di lapangan.

Kasus penolakan proyek pembangunan jalan angkut dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) batubara PT Sinar Anugrah Sentosa (PT SAS) di Jambi menjadi cerminan nyata dari persoalan ini.

BACA JUGA:Paspor Desain Merah Putih Ditunda, Imigrasi Fokus pada Kebijakan Strategis Peningkatan Layanan

Penegasan akan hal ini salah satunya disampaikan Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, yang menyebutkan bahwa Omnibus Law, meski dirancang untuk memangkas birokrasi dan menarik investasi, bukan berarti mengorbankan aspek keberlanjutan lingkungan.

Beliau menekankan betapa pentingnya penegakan hukum dan pengawasan di lapangan agar semangat efisiensi tidak disalahartikan sebagai liberalisasi perusakan lingkungan.

Pandangan ini didukung oleh berbagai akademisi dan praktisi hukum lingkungan yang konsisten menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian dan pembangunan berkelanjutan tetap menjadi fondasi hukum di Indonesia.

Bahkan, meskipun ada simplifikasi regulasi, jurnal Environmental Permits in Omnibus Law and Its Impact on Environmental Preservation menjelaskan bahwa kepatuhan terhadap baku mutu lingkungan tetap menjadi syarat utama.

BACA JUGA:Simak! Ini 3 Daerah Pemekaran di Jambi, Tinggal Tunggu Lampu Hijau dari Kemendagri

Undang-Undang Cipta Kerja, secara fundamental, tidak melegitimasi perusakan lingkungan atas nama investasi.

Sebaliknya, UU ini secara eksplisit memuat ketentuan yang mewajibkan kajian dampak lingkungan dan pemenuhan standar lingkungan.

Ini adalah bukti nyata bahwa semangat investasi dalam Omnibus Law berjalan seiring dengan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, bukan sebagai alasan untuk mengabaikannya.

Beberapa pasal penting yang mengatur aspek lingkungan hidup, meskipun ada perubahan dari UU sebelumnya, antara lain: Pertama, Pasal 22 (perubahan Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup): Mengatur kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi usaha yang berdampak penting.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: