Batu Bara vs Budaya: Candi Muarojambi dalam Pusaran Kepentingan Ekonomi dan Pelestarian Warisan

Batu Bara vs Budaya: Candi Muarojambi dalam Pusaran Kepentingan Ekonomi dan Pelestarian Warisan

Yulfi Alfikri Noer-ist/jambi-independent.co.id-

BACA JUGA:5 Figur PAN Mencuat, Diprediksi Bakal Jadi Pengganti Al Haris sebagai Gubernur Jambi

Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Candi Muarojambi menetapkan zonasi konservasi sebagai bagian dari strategi pelestarian.

Bahkan, Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 135/M/2023 mengatur secara eksplisit pembatasan terhadap aktivitas industri pertambangan dan kelapa sawit di kawasan tersebut.

Namun, pada tataran implementasi, kebijakan perlindungan terhadap Candi Muaro Jambi mengalami defisit eksekusi.

Lemahnya penegakan hukum, fragmentasi koordinasi antarinstansi, serta rendahnya kapasitas dan pelibatan masyarakat dalam sistem pengawasan menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, khususnya industri pertambangan.

BACA JUGA:Ikuti Kebutuhan Pasar, UMKM Kuliner Binaan BRI Sukses Ekspansi Pasar Internasional

Ketidakefektifan tata kelola ini berkontribusi langsung pada meningkatnya tekanan terhadap keberlanjutan kawasan situs.

Padahal, jika dikelola secara terpadu dan berbasis tata ruang konservasi, Candi Muarojambi berpotensi menjadi simpul strategis pengembangan wilayah berbasis budaya mencakup fungsi edukatif, spiritual, dan ekonomi kreatif.

Oleh karena itu, diperlukan reformulasi kebijakan berbasis kolaborasi multipihak, penguatan instrumen regulasi turunan.

Serta peningkatan kapasitas institusional di tingkat pusat dan daerah agar perlindungan warisan budaya tidak hanya menjadi jargon normatif, melainkan prioritas dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.

BACA JUGA:Dapatkan Fasilitas Pembiayaan dan Transaksi dari BRI, Susu di Ponorogo Berhasil Tingkatkan Kapasitas Produksi

Untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya sistematis, tetapi juga berani dan lintas sektor. Pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan harus segera melakukan evaluasi dan audit terhadap seluruh perizinan aktivitas stockpile di sekitar kawasan situs.

Izin yang bertentangan dengan semangat pelestarian budaya perlu ditinjau ulang bahkan dicabut jika perlu.

Lebih dari itu, harus dibangun kolaborasi partisipatif yang melibatkan akademisi, tokoh adat, komunitas pelestari budaya, dan pelaku usaha untuk menyusun kebijakan berbasis data dan kearifan lokal. Strategi pembangunan ekonomi alternatif juga perlu dikembangkan.

Penguatan sektor pariwisata sejarah, edukasi berbasis situs, dan ekowisata budaya adalah contoh pendekatan yang tidak hanya menjaga keberlanjutan situs, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat sekitar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: