Retina Mata Cacat, Hak Sebagai Karyawan Tak Dipenuhi

Retina Mata Cacat, Hak Sebagai Karyawan Tak Dipenuhi

Ilustrasi--

JAMBI – Seorang karyawan ini sudah menghabiskan sepertiga usianya untuk membesarkan PT Hutan Alam Lestari (PT HAL) Husin Gideon, ingat betul, ketika pertama kali membuka lahan perkebunan sawit itu. Berbekal kepercayaan sang bos yang sudah dikenal sejak lama, dia yakin perusahaan ini nantinya akan besar.

Namun setelah proses yang dilewati, sejak lahan dibuka hingga sawit itu berbuah dan menghasilkan, kini ia tak lagi mendapat tempat. Hak-haknya sebagai kepala unit kebun tidak lagi dipenuhi manajemen perusahaan.

Bahkan, sebuah insiden saat peristiwa penangkapan aksi pencurian sawit perusahaan, Husin Gideon, mengalami sebuah cidera mata. Matanya tidak lagi berfungsi secara normal, Retina matanya rusak.

“Pada saat menyelesaikan kasus pencurian buah sawit yang tertangkap tangan di dalam lokasi kebun perusahaan. Akibat terlalu emosi mengakibatkan retina mata sebelah kanan sobek dan harus menjalani operasi retina sebanyak dua kali. Saya sudah berkerja tanpa batas, sampai cacat mata saya , tapi sekarang serasa dicampakan. Minta hak kita aja dibuat seperti pengemis,” ungkapnya.

Nasib beberapa karyawan kebun lainnya, lanjut pria kelahiran 1968 itu, pun berakhir di Pengadilan. Mereka sepakat mendaftarkan gugatan di Pengadilan Hubungan Industial (PHI) Jambi. Gugatannya pun diregistrasi pada 28 Juni 2022 dengan No. 14/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Jmb.

Sebelum sampai Pengadilan PHI, secara pribadi pun sudah ditanyakan kepada pimpinan sekaligus pemilik perusahaan. Ia ingin penyelesaian secara kekeluargaan. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil.

Upaya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai karyawan pun sudah diupayakan dengan melakukan mediasi, tripartit dengan melibatkan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jambi, tetapi tidak membuahkan hasil apapun.

Pimpinan maupun kuasa perusahaan tidak hadir setiap kali jadwal mediasi.  “Nampaknya perusahaan ini semaunya saja, memperlakukan pekerja lain, divisi pabrik, yang tidak dibayar gajinya, bertahun-tahun tidak dibayarkan THR-nya dan hak-haknya, dan mereka mau terima dicicil. Kebetulan kita dari divisi kebun, tidak setuju dengan cara-cara seperti itu,” tegasnya.

Dia kembali menegaskan, jika ia merupakan salah satu karyawan yang merintis sejak awal. Dulu merintis, buka kebun dari mulai landclearing, tanam, sampai sekarang produksi.

“Jadi perlakuan pemilik, pimpinan perusahaan tidak adil. Upaya hirarki antara pekerja dengan pimpinan sudah kita jalankan, mulai November 2021. Sudah kita tanyakan, baik melalui telepon, dan pesan WA, menanyakan perihal status karyawan dan gaji-gaji kita bagaimana? Tapi tidak direspon,” terangnya.

Belum berhenti disitu. Upaya secara kekeluargaan pun  masih ditempuh dan berlanjut sampai Desember 2021. Pada bulan Desember itu, banyak staf-staf mulai mengundurkan diri. Alasannya, karena mereka tidak sanggup tidak digaji berbulan-bulan.

“THR saya saja, sejak tahun 2020, 2021, dan 2022, tidak dibayarkan. Gaji saya dari bulan Agustus 2021 sampai bulan Juni 2022, tidak dibayarkan dan statusnya tidak jelas. Ketika ditanya, katanya mau dipekerjakan, tapi tidak mau dikasih gaji karena alasannya tidak ada duit,” ungkapnya.    

Akhirnya pada Maret 2022, Husin Gideon, menanyakan secara resmi kepada perusahaan. Surat pertama 1 Maret 2022, mempertanyakan soal status sebagai pimpinan unit kebun masih diperkerjakan atau tidak. Kedua masalah gaji Husin, Muniroh, dan staf kantor Isti.

“Dari Oktober juga, mereka tidak digaji. Tidak dijawab juga, tidak direspon dan dan tidak ditanggapi.

Kemudian disusul dengan surat kedua 7 Maret 2022. Saya kembali mempertanyakan, pertanggungjawaban saya sebagai kepala unit kebun, masih dipakai atau tidak. Termasuk soal gaji dan status kedua staf keuangan dan administrasi,” jelasnya.

Masalah ini tidak bisa berlarut-larut. Dalam aturannya saja disebutkan, jika kedua belah pihak tidak memperoleh kesepakatan, berarti sudah bisa dilanjutkan pada anjuran. Sampai sudah tiga kali mediasi tidak mau hadir.

“Berarti tidak ada itikad baik perusahaan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Artinya memang sengaja untuk tidak hadir. Sementara dalam kesempatan lain, pihak perusahaan mau membayarkan dalam bentuk pokoknya saja, tidak berikut dengan denda. Kami tidak bersedia. Kalau mau diselesaikan, harus melibatkan pihak disnaker. Karena perhitungan disnaker itu pakai undang-undang, bukan asal hitung. Sehingga terjadi deadlock,” terangnya lagi.

Sehingga akhirnya, Husin Gideon dan beberapa karyawan PT Hutan Alam Raya, mengajukan gugatan ke Pengadilan. Mereka meminta majelis hakim, menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Supaya patut hak kami dibayarkan, karena yang kami minta ini adalah hak-hak kami bekerja. Kita sudah berkorban sedemikian rupa, waktu, pikiran untuk perusahaan. Itu yang kami minta,” tandasnya.

Sementara, managemen PT Hutan Alam Lestari, belum memberikan tanggapan atas gugatan para karyawan tersebut. Pesan WhatsApp dan permintaan konfirmasi via email yang dilayangkan Jambi Independent, belum direspon. (ira)

 
 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: