Hanya Dinikmati Segelintir Orang,Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2022 Dinilai Tak Berkesan
jambi-independent.co.id|
Reporter:
Jambi Independent|
Editor:
Jambi Independent|
Selasa 10-05-2022,09:09 WIB
Petugas bank sedang menghitung uang.-ist-
JAKARTA,JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi RI pada Senin, 9 Mei 2022 lalu.
Dari data BPS, tercatat ekonomi RI di kuartal I-2022 tumbuh 5,01 persen secara year to year (yoy).
Hanya saja, pertumbuhan ekonomi tesebut dinilai kurang berkesan. Ini karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir pihak saja.
Hal ini disampaikan Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2022 kurang berkesan.
Menurut Achmad, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang atau oligarki sementara mayoritas publik tidak menikmati pertumbuhannya.
"Hanya dinikmati oleh pengusaha sawit, pengusaha batubara, pemilik infrastruktur, importir vaksin dan obat kesehatan lainnya," ujar Achmad.
Kepala Studi Ekonomi Politik LKEB UPN Veteran Jakarta itu menyangkan tingginya pertumbuhan hanya dirasakan segelintir orang.
Di sisi lain, situasi ekonomi kuartal 1-2022 juga diwarnai dengan kenaikan harga pangan, minyak goreng, komoditas ekspor, seperti sawit dan batu bara serta kenaikan belanja pemerintah terutama di sektor konstruksi.
"Hal ini dilihat dari 65,74 persen pertumbuhan ekonomi disumbang oleh sektor perdagangan, pertanian, pertambangan dan konstruksi," ucap Achmad.
Pendiri Founder Narasi Institute itu juga menyatakan sektor yang banyak melibatkan tenaga kerja, yaitu industri pengolahan berkontribusi kecil 1,06 persen meski pertumbuhannya tinggi sebesar 19,19 persen.
Lebih lanjut, sektor lain yang cukup tinggi pertumbuhannya ialah industri kimia farmasi dan obat tradisional sebesar 4,67 persen.
Berdasarkan sisi pengeluaran, tercatat konsumsi rumah tangga masih dibawah ambang normal sebelum Covid-19.
Pada kuartal 1-2022 konsumsi rumah tangga tumbuh 4,34 persen masih jauh dibawah konsumsi publik yang normalnya adalah 5,0 persen seperti yang dikuti dari jpnn.com.
"Hal ini menunjukkan daya beli masyarakat meningkat. Namun, masih di bawah situasi normal. Di sinilah pemerintah membutuhkan daya ungkit untuk meningkatkan purchasing power dari masyarakat," tutup Achmad. (viz)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: