Potret Kita Hari ini, Utang Menumpuk dan Rakyat Kian Melarat?

Potret Kita Hari ini, Utang Menumpuk dan Rakyat Kian Melarat?

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Bank Indonesia melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal III 2021 tercatat sebesar Rp 6008 triliun, tumbuh 3,7% year on year (yoy) dari periode tahun lalu.

Harapannya utang yang ditarik oleh pemerintah dari berbagai sumber tersebut bisa menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun masalah itu disini, harapan itu jauh dari harapan. Terbukti, penduduk miskin masih tinggi, atau dengan kata lain jumlah utang tidak seimbang dengan kesejahteraan rakyat, jikapun ada manfaat, utang hanya berfungsi sebagai jaring pengaman, mencegah indikator kesejateraan rakyat tidak turun dalam, jatuh terperosok, dalam hal fungsi pengaman inipun manfaat hutang tidaklah optimal.

Saat ini utang pemerintah tak sejalan dengan ekonomi. Pertumbuhan utang lebih besar ketimbang pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain BPS mencatat jumlah penduduk miskin naik 1,28 juta jiwa, termasuk jumlah pengangguran. 

Secara teoritis jumlah utang yang meningkat ini seharusnya membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, masyarakat tambah melarat. Indikatornya, tingkat kemiskinan, ketimpangan (gini ratio), dan pengangguran meningkat.

Kesimpulan ini merujuk pada jumlah pengangguran atau tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia di Agustus 2021 mencapai 6,49 persen dari jumlah angkatan kerja atau setara dengan 9,10 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah ini hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang. Adapun rasio ketimpangan atau gini ratio menurut catatan BPS naik dari 0,381 di Maret 2020 menjadi 0,384 pada Maret 2021. Rasio ini menggambarkan ketimpangan pengeluaran penduduk di tanah air, yang juga mengambarkan jurang kemiskinan yang makin melebar.

Fakta ini makin memusingkan ketika kita tahu, bahwa pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya. Sejak tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri. 

Utang Untuk Menambal APBN

Dalam tiap tahun anggaran, utang digunakan untuk menambal APBN yang defisit karena pendapatan negara lebih rendah dari belanja. Digunakan untuk menambah, bukan berarti utang bisa digunakan asal-asalan.

Penerbitan utang itu akan berimplikasi kepada beban bunga utang.

Pada 2019 sebelum terjadinya pandemi utang neto pemerintah sebesar Rp 437,5 triliun. Kemudian, melonjak hingga Rp 1.226,8 triliun di tahun 2020. Lalu, pada 2021 outlook utang neto sebesar Rp 1.177,4 triliun.

Penambahan utang neto tahun lalu walhasil membuat akumulasi bunga utang pemerintah sebesar Rp 314,1 triliun, naik Rp 38,6 triliun dari tahun sebelumnya. Jumlah itu terus mekar. Jika dihitung sejak 2019 maka total bunga utang sebesar Rp 373,3 triliun pada 2021, atau bertambah Rp 97,8 triliun.

Bahkan di tahun 2022, pemerintah memperkirakan total bunga utang tembus Rp 417,4 triliun. Secara berurutan, beban bunga baru yang diakibatkan pembiayaan defisit APBN sejak 2020 hingga 2022 masing-masing sebesar Rp 38,2 triliun, Rp 49,6 triliun, dan Rp 45,3 triliun. 

Sebenarnya pemerintah harus lebih hati - hati dalam mengelola utang. Dana pinjaman ini harus digunakan untuk kegiatan produktif agar bisa dirasakan oleh rakyat. Karena, utang ini nantinya juga akan dibayar oleh uang rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: