Ahli Hukum: Sidang MKD soal Sahroni dkk Hanya untuk Redam Kemarahan Publik
Anggota DPR RI nonaktif (dari kanan ke kiri), Ahmad Sahroni, Surya Utama atau Uya Kuya, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, dan Nafa Urbach, menghadiri sidang kode etik MKD.-Antara/jambi-independent.co.id-
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Feri Amsari, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, menilai proses sidang di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terhadap Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, Uya Kuya, dan Adies Kadir tidak lebih dari langkah politik untuk menenangkan kemarahan masyarakat.
Dalam sidang putusan pada Rabu 5 November 2025, MKD menyatakan Sahroni, Eko, dan Nafa terbukti melanggar kode etik DPR atas ucapan atau tindakan mereka yang dinilai melukai perasaan publik. Ketiganya dijatuhi sanksi nonaktif selama tiga hingga enam bulan.
Sementara itu, Uya Kuya dan Adies Kadir dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik. Kelima anggota dewan tersebut sebelumnya telah dinonaktifkan oleh partai masing-masing sejak 1 September 2025, setelah ucapan dan tindakan mereka memicu kemarahan publik dan demonstrasi besar yang berujung kerusuhan pada Agustus lalu.
BACA JUGA:Bupati Anwar Sadat Hadiri Apel Kesiapan Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Tahun 2025
"Sedari awal perkara ini memang sudah terlihat motifnya hanya untuk meredam kemarahan publik," ujar Feri Amsari dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Kamis 6 November 2025. Menurut Feri, langkah MKD ini merupakan strategi politik semata.
"Secara strategi politik tentu semua orang mengatakan ini strategi yang pintar, baik, begitu ya. Tapi untuk merespons, menampung aspirasi publik terutama untuk menghormati para pemilih, saya pikir ini langkah yang jauh sekali dari harapan."
Feri juga menyoroti penggunaan istilah nonaktif, yang menurutnya tidak dikenal dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
"Jadi di titik awal saja DPR sudah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang yang mereka buat sendiri hanya untuk kepentingan rekan-rekannya di parlemen," tegasnya.
BACA JUGA:Waspadai! Calon Jamaah Haji Bisa Gagal Berangkat Akibat 11 Jenis Penyakit Ini
Selain itu, ia mengkritik inkonsistensi putusan MKD yang menjatuhkan sanksi kepada sebagian anggota tetapi membebaskan lainnya.
"Padahal konteks substansi persoalannya sama. Sikap anggota dewan yang tidak peduli dengan publik dan berlebihan. Kenapa bisa sanksinya berbeda-beda? Apalagi ada jenis perbuatan yang dianggap sama persis," ungkap Feri.
Ia pun menilai MKD tidak berfungsi sebagai lembaga penegak etika, melainkan menjadi wadah untuk melindungi kepentingan internal DPR.
"Di titik ini, kita bisa melihat MKD hanyalah ruang untuk membenarkan tindakan pelanggaran etik yang dilakukan teman-temannya sendiri," kata Feri.
"Saya menyebutnya MKD itu melakukan pelanggaran etis dalam persoalan etik."
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:




