AWARDS
b9

Ledakan di SMA 72, Peringatan untuk Cegah Siswa Terpapar Kekerasan

Ledakan di SMA 72, Peringatan untuk Cegah Siswa Terpapar Kekerasan

Dua personil Gegana Brimob Polda Metro Jaya berjaga di tempat terjadinya ledakan di SMAN 72 Jakarta, Jakarta, Jumat 7 November 2025.-ANTARA-

BACA JUGA:Islam Jambi di Tengah Islam Nusantara: Historisitas, Multipolaritas, dan Kolaborasi Melayu Jambi

Jika kelompok terorisme melakukan peledakan dengan niat untuk membunuh orang lain yang mereka anggap "kafir" dan pada akhirnya tidak percaya pada konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dalam kasus anak SMA 72 Jakarta ini, kemungkinan terlepas dari pengaruh terkait motif agama.

Dugaan bermotif balas dendam atas perlakuan perundungan oleh temannya yang membuat terduga pelaku putus asa, inspirasinya bisa jadi memang berasal dari konten digital yang disebar oleh kelompok-kelompok penganut paham radikal dan terorisme.

Meskipun motifnya dendam pribadi, tindakan peledakan hingga menyebabkan puluhan siswa lain menjadi korban ini, akibatnya setara dengan tindakan kaum terorisme, meskipun secara hukum, bisa jadi tindakan tersebut bukan termasuk dalam kategori tindakan terorisme. Apalagi, jika pelakunya masuk dalam kategori anak-anak.

Kemungkinan ini juga diingatkan oleh Mendikdasmen Abdul Mu'ti atas kejadian ledakan di SMA 72 Jakarta ini. Karena itu, Mu'ti menekankan pentingnya memberi ruang bagi siswa untuk mengekspresikan pandangan dan pikirannya agar siswa dapat mengeksplor gagasan secara kreatif, bukan dengan cara fatalistik dan membahayakan bagi banyak orang.

BACA JUGA:Waduh! Balita yang Diculik di Makassar Ternyata Dibawa ke Jambi dengan Pesawat Lion Air

Ruang ekspresi yang dimaksud Mu'ti adalah bagaimana seorang remaja tidak terperangkap dalam relasi sosial yang tertekan, baik oleh lingkungan sekolah maupun dengan lingkungan rumah dan tempat tinggal.

Seorang remaja yang jiwanya masih penuh dengan ketidakstabilan dalam rangka pencairan jati diri, sangat memerlukan ruang ekspresi sosial yang nyaman dan aman.

Ruang ekspresi yang tersumbat akan melahirkan banyak generasi muda yang rapuh, sebagaimana populer di media sosial dengan istilah generasi stroberi. Buah yang tampakan luarnya ranum dengan warna memikat, tapi dalamnya mudah busuk.

Sekolah dan orang tua memegang peranan penting untuk menghadirkan ruang ekspresi yang nyaman dan aman bagi remaja. Dengan demikian, siswa tidak mudah menjadi korban, apalagi menjadi pelaku perundungan terhadap teman-temannya di sekolah.

BACA JUGA:Harwan Muldidarmawan Tekankan Kepatuhan dan Integritas sebagai Pilar Kinerja Jasa Raharja di Kanwil Sulselbar

Guru di sekolah, bukan hanya mewaspadai siswa yang menjadi korban perundungan, melainkan juga memberi perhatian kepada mereka yang berpotensi menjadi pelaku.

Mereka perlu didampingi dan diingatkan untuk bersikap baik kepada temannya, saling mendukung satu sama lain, sehingga sekolah bukan hanya menjadi tempat untuk proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga menjadi tempat bertumbuhnya jiwa dan mental secara positif.

Menciptakan sekolah yang ramah anak ini harus menjadi perhatian dan komitmen semua pihak di sekolah, dari kepala sekolah, guru, siswa, hingga satuan pengamanan (satpam), petugas kebersihan, dan penjaga kantin di sekolah.

Semua orang yang saat proses belajar mengajar berlangsung berada di lingkungan sekolah, harus diberi pemahaman untuk menciptakan suasana nyaman bagi siswa.

BACA JUGA:Chery Luncurkan SUV Listrik J6T di Bogor, Lebih Tangguh dan Siap Taklukkan Medan Berat

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: