Margiono, Rakyat Merdeka, dan Perang Kartun dengan Australia

Rabu 02-02-2022,10:51 WIB

Catatan: Masayu Indriaty Susanto
 
Insan pers Indonesia berduka. Margiono, wartawan senior, CEO Rakyat Merdeka Grup, mantan Ketua PWI Pusat 2008-2018, menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Modular Jakarta, kemarin (1/2) di usia 62 tahun.

Meski mengawali karir dari reporter hingga menjadi Pemimpin Redaksi Jawa Pos Surabaya menggantikan Dahlan Iskan, namun sosok Margiono atau Pak MG, justru lebih identik dengan Rakyat Merdeka, koran yang didirikannya. Yang terkenal dengan kartun-kartunnya yang menyengat istana sampai bikin tegang dua negara.
 
Jika Jawa Pos mengusung koran nasional rasa suroboyoan, Rakyat Merdeka yang terbit di Jakarta tampil sangat berbeda. Headline-nya selalu dihiasi kata-kata lugas, singkat, bahkan seringkali sarkasme. Dan kartun-kartunnya terkenal nyelekit. Banyak yang menganggap, Rakyat Merdeka sangat identik dengan seorang Pak MG, sang pendiri. Sosok yang tak ada takutnya, tak suka protokoler, humble, egaliter, dan apa adanya.

Rakyat Merdeka memang memposisikan diri sebagai koran politik. Semula berslogan “Apinya Demokrasi Indonesia”. Tapi kemudian berubah menjadi “Political News Leader”.

Namun yang jelas, lewat Rakyat Merdeka, Margiono membuktikan jika rakyat berhak merdeka dalam menerima informasi yang jujur dan apa adanya. Dia juga menunjukkan jika pers sudah seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat. Bukan malah bermesra dengan penguasa.

Dan korannya Pak MG ini, beraninya itu yang luar biasa. Pada 2013, surat kabar Australia Herald Sun memuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono sebagai karikatur. Pak SBY digambarkan berbatik biru dan berpeci sedang menelepon PM Australia Tony Abbot dengan wajah tegang. Sedangkan Bu Ani versi kartun digambarkan bersanggul, berkebaya, dan bermake up lengkap.

Wajah Bu Ani tampak sebal. Sedangkan PM Tony Abbott sendiri digambarkan santai saja dengan kostum kaus kuning, bahkan cengengesan.

Kartun ini diterbitkan media itu berkaitan dengan terbongkarnya penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden SBY dan 9 lingkaran terdekatnya. Termasuk first lady Ibu Ani Yudhoyono.

Dokumen rahasia berbentuk slide presentasi tersebut memang dibocorkan oleh pembocor intelijen Amerika Serikat, Edward Snowden dan membuat hubungan kedua negara tegang.

Penyadapan terhadap kepala negara kita tentulah suatu penghinaan. Apalagi Presiden SBY digambarkan seperti itu. Penyadapan dan kartun itu menjadi topik pemberitaan yang ramai di tanah air.

Empat hari kemudian, koran Rakyat Merdeka membuat kejutan. Mereka membalas kartun Pak SBY dengan sebuah kartun yang menggambarkan Tony Abbot, perdana menteri Australia saat itu. Tidak tanggung-tanggung, Abbot digambarkan hanya bercelana pendek dengan celana dalam bendera Australia. Sedang mengintip dari balik pintu bertuliskan "Indonesia" sembari berbuat cabul. Upssss.... !

Kartun bertuliskan "Ssst! Oh my God Indo ... So Sexy” itu menjadi ilustrasi berita berjudul "Alat Sadap Dipasang di Handel Pintu, Atap Ruang Rapat dan Sekering Listrik" yang mengutip keterangan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).

Kartun itu tentulah membuat gempar negara di Benua Kanguru itu. Berita tentang kartun cabul bergambar Tony Abbot itu dirilis sejumlah media di Australia, seperti Sydney Morning Herald dan The Age dengan judul "Abbott cartoonist recalled to ridicule PM".  

Media di sana menilai perdana menteri mereka sudah dicitrakan pada titik terendah dengan perbuatan cabul.

Pembuat kartun itu adalah kartunis Fonda Lapod. Saat itu, Fonda bukan lagi kartunis di Rakyat Merdeka. Dia sudah pensiun sejak 2006.

Namun rupanya redaksi Rakyat Merdeka kembali mendatangkan dia untuk membuat kartun itu.

The Adventure of
Two Dingos

Pada 2006, Fonda dan Rakyat Merdeka juga pernah perang kartun yang juga bikin heboh. Juga dengan media Australia.

Saat itu Rakyat Merdeka memuat kartun menggambarkan Howard, yang kala itu perdana menteri Australia, dan Alexander Downer yang menjabat Menteri Luar Negeri, sebagai dua dingo yang sedang “saling menunggangi”.

Dingo adalah jenis anjing liar yang hidup di negara itu. Kartun berjudul "The Adventure of Two Dingos" itu dilatari protes pemberian visa oleh Australia untuk 43 aktivis Papua Merdeka.

Suatu tindakan yang dirasakan melukai kedaulatan Indonesia. Dan sebagai negara tetangga, Australia dinilai tidak sopan dengan melindungi para aktivis Papua yang mengancam kesatuan negara kita.  

Surat kabar Australia The Weekend Australian, beberapa hari kemudian menerbitkan kartun balasan. Giliran Presiden SBY digambarkan sebagai seekor anjing yang secara seksual mendominasi seorang pria berkulit hitam dan berambut keriting.

SBY yang mengenakan peci hitam dan tersenyum dengan ekor bergoyang. Kemudian ada pria yang merupakan simbol warga Papua yang hidungnya dihiasi tulang.

Kartun itu bertuliskan "Don't take this the wrong way..."

Sementara caption kartun itu tertulis "No Offence Intended".
Kartun tersebut dibuat oleh kartunis terkenal di Australia, Bill Leak.

Perang kartun antar media ini membuat hubungan Indonesia dan Australia kian memanas. Meski kemudian, dalam pernyataan resminya, kedua negara menyatakan menyesalkan kartun-kartun tersebut dan menyebutnya dengan produk jurnalistik berselera rendah.

Mulut Mega Bau Solar
 
Sengatan Rakyat Merdeka juga menuju istana negara. Pada 2002, giliran Rakyat Merdeka membuat kehebohan berulang saat koran itu menurunkan tajuk berjudul “Mulut Mega Bau Solar”.

Judul itu diterbitkan sebagai protes atas kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM di saat rakyat sedang susah. Saat itu, Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden RI.
 
Dan keberanian itu berujung dengan Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Sukarnoputri. Tapi Supratman tidak ditahan.

Pada masa orde baru menjelang reformasi, Pak MG melalui salah satu malah D&R miliknya juga bikin gempar. Pasalnya, majalah itu memuat cover story tentang Pak Harto,

Bahkan pada cover depan, Pak Harto diilustrasikan dengan mengenakan aksesori “king” dalam kartu remi.
 
Cover itu sontak membuat heboh dan suatu keberanian luar biasa. Pasalnya, saat itu Pak Harto masih berkuasa. Tentu saja banyak pihak yang langsung kebakaran jenggot. Dan aksi nekat itu harus ditebus dengan ditutupnya majalah D&R. Tamatlah riwayat majalah yang anggota redaksinya kebanyakan eks Majalah Tempo itu.

Keberanian Pak MG dan Rakyat Merdeka menyampaikan suara rakyat memang sempat membuat mereka repot karena sering sekali dipolisikan. Banyak pihak yang tentunya tidak suka diusik kepentingannya.

Sampai-sampai Rakyat Merdeka dikenal sebagai satu-satunya media di dunia yang pernah memiliki 11 pemimpin redaksi. Ini karena media itu harus mengirim wartawan-wartawan hebat mereka bolak balik ke pengadilan meladeni berbagai tuntutan. Namun Pak MG sepertinya cuek saja.

Obrolan Terakhir
 
Rekam jejak Pak MG dalam jurnalistik di tanah air memang sangat panjang. Dia sudah jadi wartawan sejak zaman orde baru, tepatnya tahun 1980 an, dengan menjadi wartawan Jawa Pos di Surabaya.

Karirnya kemudian membawanya menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos di Surabaya menggantikan Dahlan Iskan. Selanjutnya, Margiono merambah Jakarta dan mendirikan surat kabar Rakyat Merdeka.

Terakhir, Margiono adalah direktur utama Rakyat Merdeka Group yang membawahi beberapa media. Di antaranya Lampu Merah (pada 2008 berubah menjadi Lampu Hijau), Banten Pos, Non Stop, Bollywood, Haji, Satellite News, Tangsel Pos, Tangerang Pos, Job Vacancies (Loker), RM Books Publisher, dan Majalah Biografi Politik Rakyat Merdeka berikut versi online nya.

Obrolan terakhir saya dengan Pak MG berlangsung sekitar Januari tahun lalu. Saat itu, saya meminta Pak MG menceritakan kisahnya tentang Pak Soeparno Wonokromo, CEO Sumatera Ekspress Palembang yang baru saja wafat.

Pak MG dan Pak Parno memang dekat. Sama-sama merintis karir di Jawa Pos bersama Pak Dahlan Iskan. Keduanya juga dikenal sebagai dua dari The Seven Samurai, tujuh “pendekar” di jajaran Jawa Pos Grup yang sukses dan tangguh mengembangkan media di area masing-masing.

Namun dengan Pak Parno, Pak MG memang ada kedekatan khusus. Keduanya suka mendalang dan sangat suka dengan kisah-kisah perwayangan.

Namun saat itu, Pak MG mengaku dia tidak seserius Pak Parno yang belajar dalang sampai ke masternya, Ki Manteb.
”Saya sih karena dalangnya main-main saja,” ujarnya sambil tertawa.

Kini, wartawan yang tidak ada takutnya itu telah berpulang. Semoga beliau berdua kini bisa mendalang lagi bersama di Swarga Loka.

Selamat Jalan Pak Margiono..
Innalillahi wainnailaihirojiun..(*)

Tags :
Kategori :

Terkait