Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip ke 2 dan 15 Deklarasi Rio 1992 menegaskan bahwa negara memang berdaulat mengelola sumber daya alamnya, tetapi wajib memastikan bahwa setiap aktivitas dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Kewajiban ini diperkuat dalam Convention on Biological Diversity 1992 yang telah diratifikasi Indonesia, yang mewajibkan negara melindungi ekosistem hutan dan daerah aliran sungai sebagai penyangga kehidupan.
BACA JUGA:Hilang Kendali! Mobil Sedan KIA Spectra Tabrak Median Jalan di TPA Talang Gulo
Pada saat yang sama, Paris Agreement 2015 mewajibkan negara memperkuat langkah adaptasi dan pengurangan risiko bencana terkait perubahan iklim, termasuk banjir ekstrem.
Kelalaian negara dalam mengendalikan deforestasi, aktivitas tambang, dan alih fungsi kawasan resapan yang berkontribusi pada banjir bandang dengan demikian dapat dipandang sebagai pelanggaran kewajiban internasional yang telah mengikat secara hukum.
Lebih jauh, kewajiban negara untuk melindungi warga dari dampak kegiatan korporasi juga ditegaskan dalam UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), yang mewajibkan negara melakukan pencegahan, pengawasan, serta penyediaan pemulihan bagi korban.
Apabila negara mengetahui atau seharusnya mengetahui risiko ekologis dari aktivitas usaha, tetapi gagal mencegah dan mengawasinya, maka kelalaian tersebut memenuhi unsur internationally wrongful act by omission sebagaimana dirumuskan dalam Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ILC 2001), sehingga membuka ruang pertanggungjawaban negara tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dalam perspektif hukum internasional.
BACA JUGA:Puncak HUT ke-66 Korem 042/Gapu, Terus Mengabdi untuk Masyarakat
Jalan Hukum bagi Korban: Class Action sebagai Instrumen Keadilan
Dalam konteks inilah class action (gugatan perwakilan kelompok) menjadi salah satu instrumen hukum yang relevan dan strategis bagi para korban banjir bandang. Class action memungkinkan sekelompok masyarakat yang mengalami kerugian serupa menggugat pihak yang bertanggung jawab dalam satu perkara.
Gugatan ini dapat diarahkan kepada perusahaan pemegang izin perkebunan, perusahaan tambang, atau pihak lain yang diduga menyebabkan kerusakan lingkungan. Bahkan, dalam konteks tertentu, negara pun dapat digugat jika terbukti lalai dalam menjalankan kewajibannya.
Tujuan class action bukan semata ganti rugi, tetapi juga: Pemulihan lingkungan; Jaminan ketidakberulangan; dan Perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada keselamatan publik.
Bagi masyarakat awam, class action memang terdengar rumit. Namun melalui pendampingan lembaga bantuan hukum, organisasi lingkungan, dan advokat publik, gugatan ini bukan hal mustahil. Yang penting adalah kemauan kolektif korban untuk bersatu dan memperjuangkan haknya secara hukum.
BACA JUGA:BREAKING NEWS: Napi Lapas Kelas II A Jambi Tewas Gantung Diri
Kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi contoh monumentalnya gugatan kolektif dalam tragedi lingkungan. Ribuan warga kehilangan rumah dan tanah. Melalui perjuangan panjang—baik litigasi maupun non-litigasi—korban akhirnya memperoleh skema ganti rugi dan tanggung jawab korporasi yang diakui.
Meski tidak sempurna dan penuh dinamika politik-hukum, pengalaman Lapindo menunjukkan satu hal penting: masyarakat yang bersatu dan menggunakan jalur hukum dapat memaksa negara dan korporasi bertanggung jawab.