JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Kardiomiopati takotsubo, atau lebih dikenal sebagai sindrom patah hati, merupakan kondisi ketika otot jantung tiba-tiba melemah dan bentuknya berubah. Penyakit ini kerap dipicu oleh stres emosional maupun fisik yang berat, misalnya akibat kehilangan orang terdekat.
Menurut laporan The Guardian pasien dengan sindrom ini sering menunjukkan gejala mirip serangan jantung. Tak hanya itu, mereka juga menghadapi risiko kematian dini dua kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
“Sindrom takotsubo bisa menjadi kondisi yang menghancurkan, terutama jika muncul di masa paling rentan dalam hidup seseorang setelah mengalami peristiwa besar,” jelas Dr. Sonya Babu-Narayan, Direktur Klinis di British Heart Foundation, lembaga yang mendanai penelitian terkait sindrom patah hati.
Hingga kini, sindrom patah hati belum memiliki pengobatan spesifik. Namun, untuk pertama kalinya, sebuah uji klinis acak menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) dan program latihan pemulihan jantung bisa membantu pasien pulih lebih baik.
BACA JUGA:Waduh! Terbangkan Drone di Gunung Kerinci Kini Wajib Bayar Rp2 Juta, Ini Kata Gubernur Jambi
Terapi CBT diberikan selama 12 sesi mingguan dengan dukungan harian sesuai kebutuhan pasien. Sementara itu, program olahraga selama 12 minggu melibatkan bersepeda statis, treadmill, aerobik, hingga berenang, dengan intensitas yang ditingkatkan secara bertahap setiap pekan.
Hasil penelitian mengungkapkan, kedua metode tersebut membantu meningkatkan kinerja jantung. Misalnya, pasien kelompok CBT mampu menambah jarak tempuh jalan enam menit dari 402 meter menjadi 458 meter. Sementara pasien yang mengikuti latihan fisik rata-rata mampu berjalan 528 meter, meningkat dari 457 meter saat awal uji coba.
Selain itu, kapasitas VO₂ max (konsumsi oksigen maksimum saat berolahraga) meningkat 15% pada kelompok CBT dan 18% pada kelompok olahraga. Hal ini menjadi indikator positif bahwa fungsi jantung dan kesehatan fisik mereka membaik.
Meski menunjukkan peluang pemulihan, sindrom takotsubo tetap berbahaya. Dr. David Gamble, dosen kardiologi dari University of Aberdeen, menekankan bahwa kerusakan pada jantung pasien bisa berlangsung permanen.
BACA JUGA:Warga Sumsel Jangan Lupa! Puncak Gerhana Bulan Total di Senin Dini Hari, Ini Fasenya
“Banyak pasien yang harus hidup dengan dampak jangka panjang sindrom takotsubo. Kondisi kesehatan mereka bahkan bisa setara dengan orang-orang yang pernah mengalami serangan jantung,” ujar Gamble saat mempresentasikan hasil penelitian di Kongres Tahunan European Society of Cardiology di Madrid.
Penelitian ini melibatkan 76 pasien, dengan 91 persen di antaranya perempuan, rata-rata berusia 66 tahun. Mereka dibagi secara acak untuk menjalani CBT, program olahraga, atau perawatan standar sesuai rekomendasi dokter jantung.
Menariknya, para peneliti menggunakan teknologi spektroskopi resonansi magnetik 31P untuk mempelajari bagaimana jantung memproduksi, menyimpan, dan menggunakan energi. Hasilnya menunjukkan pasien yang mendapat CBT maupun olahraga intensif memiliki cadangan energi jantung lebih baik dibandingkan mereka yang hanya menjalani pengobatan standar.
Penemuan ini menegaskan bahwa selain obat-obatan, pendekatan psikologis dan fisik juga bisa memberi manfaat nyata bagi pasien sindrom patah hati.
BACA JUGA:Aklamasi! Cek Endra Jadi Ketua Golkar Jambi Periode 2025- 2030
“Orang mungkin tidak heran jika olahraga bisa membantu pasien jantung. Tapi yang mengejutkan, studi ini juga menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif dapat memperbaiki fungsi jantung sekaligus kebugaran pasien,” tambah Dr. Babu-Narayan.
Meski begitu, ia menegaskan masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah metode ini benar-benar dapat meningkatkan angka harapan hidup dalam jangka panjang.