Sementara itu, APBD murni 2025 disepakati sekitar Rp4,575 triliun (belanja Rp4,625 triliun, defisit Rp49,85 miliar).
Penurunan ini disebabkan turunnya pendapatan asli daerah dan alokasi transfer pusat, sedangkan belanja tetap tinggi pada komponen operasi dan modal, tanpa prioritas jelas untuk pangan dan distribusi.
Khususnya, penurunan APBD 2025 diproyeksikan mencapai hampir Rp800 miliar dibanding APBD perubahan 2024.
Dalam hal ini terlihat bahwa alih-alih mendesain alokasi untuk memperkuat ketahanan pangan—seperti pembangunan gudang cadangan atau subsidi distribusi—anggaran malah lebih banyak tersedot untuk belanja rutin birokrasi dan proyek infrastruktur yang tidak langsung berdampak jangka panjang terhadap stabilitas harga.
BACA JUGA:Oalah! Pelajar SMA dan SMP Mau Nimbrung Demo di Jambi, Langsung Disuruh Pulang
Pendekatan semacam ini telah dikritik secara tajam oleh Bank Indonesia (2023): tiga faktor kunci pengendalian inflasi pangan adalah cadangan pangan strategis, distribusi yang lancar, dan dukungan produksi lokal.
Tanpa alokasi anggaran yang memprioritaskan ketiganya, daerah seperti Jambi akan selalu tertinggal.
Menurut Mankiw (2020) dalam Principles of Economics, stabilitas harga bukan hasil dari intervensi sesaat—melainkan produk kebijakan struktural yang konsisten dan menyentuh langsung akar masalah.
Di Jambi, anggaran APBD belum menunjukkan orientasi semacam itu.
BACA JUGA:Pastikan Bertarung Di Musda Golkar, Cek Endra Ambil Formulir Pendaftaran
Bahkan studi Sari, Mubyarto, & Safitri (2024) menegaskan: inflasi pangan berkontribusi signifikan terhadap kemiskinan di Jambi, dan tanpa kebijakan anggaran responsif, lonjakan harga pangan akan terus memperparah kesejahteraan masyarakat miskin.
Inflasi 2,76 persen bukan angka semata; ia adalah cermin kegagalan manajemen ekonomi daerah dan politik anggaran yang tidak berpihak pada rakyat.
APBD harus diarahkan ulang, bukan untuk proyek prestisius semata, namun untuk : membangun cadangan pangan strategis – gudang daerah untuk menyimpan komoditas penting saat pasokan terganggu, memperkuat distribusi antardaerah – jaringan logistik yang lebih efisien dan subsidi distribusi, mendorong produksi lokal – insentif bagi petani dan pengolahan pangan dalam daerah, reorientasi anggaran APBD – alihkan sebagian belanja operasional dan modal ke belanja produktif pangan dan distribusi.
Tanpa perubahan arah politik anggaran, Jambi akan terus menjadi provinsi dengan kelemahan struktural dalam menjaga stabilitas harga. Rakyat, terutama golongan paling rentan, akan jadi korban utama kegagalan kebijakan.
*Pengamat
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2023). Perkembangan Indeks Harga Konsumen dan Inflasi 2022. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. (2025). Perkembangan Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Agustus 2025. Jakarta: BPS.
Bank Indonesia. (2023). Kajian Inflasi Daerah: Dampak Inflasi Pangan terhadap Kemiskinan. Jakarta: Bank Indonesia Institute.
Bank Indonesia. (2024). Laporan Perekonomian Daerah Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan 2024. Jakarta: Bank Indonesia.
Gubernur Al Haris. (2025). Laporan Realisasi APBD 2024 dan Kebijakan Perubahan APBD 2025. Provinsi Jambi.
Mankiw, N. G. (2020). Principles of Economics (9th ed.). Boston: Cengage Learning.
Sari, H. F., Mubyarto, N., & Safitri, Y. (2024). "Pengaruh Pendidikan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Jambi Tahun 2018–2022." Jurnal Pendidikan Tambusai, 8(1), 11715–11723.