
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Masih banyak orang yang keliru memahami depresi. Tak jarang, mereka yang tengah berjuang melawan gangguan ini dicap malas atau kurang motivasi. Padahal, kondisi tersebut jauh lebih kompleks dan menyakitkan dari sekadar rasa enggan.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia, Ratih Zulhaqqi, menegaskan bahwa depresi bukanlah soal semangat yang hilang. Ini adalah gangguan psikologis serius yang bisa membuat aktivitas sederhana, seperti membuka mata atau sekadar bangkit dari tempat tidur, terasa seperti beban berat yang nyaris mustahil dilakukan.
“Pada fase kambuh atau relapse, penderita depresi bisa mengalami hambatan luar biasa hanya untuk menjalani rutinitas dasar. Bangun tidur saja bisa terasa seperti mendaki gunung,” ujar Ratih saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Banyak penderita depresi mengalami kelelahan fisik dan emosional meski telah beristirahat cukup. Mereka cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, lebih sering tidur, dan kehilangan motivasi bahkan untuk melakukan hal-hal kecil sekalipun.
BACA JUGA:Kerja di Bawah Tekanan? Ini Cara Hadapi Stres yang Lebih Efektif dari 'Semangat Ya'
BACA JUGA:Reformulasi KUHAP: Menuju Sistem Hukum yang Berasaskan Pancasila
"Rendahnya energi ini bukan hanya fisik, tapi juga secara emosional. Bahkan untuk duduk saja rasanya berat. Di tahap ini, pendampingan dari profesional menjadi sangat penting," jelasnya.
Ratih menekankan pentingnya memiliki mekanisme koping (coping mechanism) yang sehat, seperti kemampuan mengatur emosi dan cara pandang terhadap masalah. Ini bisa menjadi benteng pertahanan awal agar tidak larut dalam tekanan yang berat.
Terapi kognitif perilaku (CBT) juga menjadi salah satu metode efektif yang banyak digunakan oleh psikolog dan psikiater untuk membantu pasien mengenali pola pikir negatif dan menggantinya dengan cara pandang yang lebih adaptif.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa dalam kondisi depresi berat, mengubah pola pikir tidak semudah membalikkan telapak tangan. Justru di titik inilah masyarakat harus menghindari penghakiman dan mulai membangun empati.
BACA JUGA:Astra Honda Siap Kuasai Sepang! CBR Series Dibidik Jadi Raja Podium Berikutnya
BACA JUGA:Nah! ASN Tanjab Timur yang Tewas Akibat Kecelakaan Ternyata Lulusan IPDN
“Bisa jadi seseorang yang terlihat ‘malas’ di mata kita, sebenarnya sedang berjuang mati-matian untuk bertahan hidup secara mental,” tambahnya.
Salah satu hambatan terbesar bagi penderita depresi untuk mencari pertolongan adalah stigma negatif dari lingkungan. Mereka seringkali dilabeli ‘kurang iman’, dianggap lemah, atau bahkan dicap ‘gila’.
Padahal, depresi adalah gangguan kesehatan mental yang membutuhkan penanganan medis. “Bukan karena kurang bersyukur atau kurang berdoa. Ini soal ketidakseimbangan kimia di otak yang memang butuh intervensi profesional, termasuk obat,” ujar Ratih.
Ia juga menegaskan bahwa kondisi keuangan yang tampak baik, jabatan yang tinggi, atau pencapaian luar yang mengesankan tidak serta-merta menjadi jaminan bahwa seseorang bebas dari depresi.
BACA JUGA:'Tahun Ini Harus Juara!' Erick Thohir Panaskan Suasana Jelang ASEAN U-23 di Tanah Air
Ratih juga menyoroti pentingnya lingkungan kerja yang lebih peduli terhadap kesehatan mental. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh kasus meninggalnya seorang asisten manajer Bank Indonesia yang ramai diperbincangkan di media sosial. Meskipun penyebab pasti masih dalam proses penyelidikan, isu tekanan kerja kembali mengemuka sebagai faktor risiko yang patut diperhatikan.
Kejadian ini menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa tekanan kerja yang tinggi tanpa dukungan emosional dan manajemen stres yang baik dapat berujung fatal.
Lebih dari sekadar memberi semangat, kita perlu hadir secara nyata dan tulus. Ucapan klise seperti “semangat ya” bisa terasa hampa, bahkan menyakitkan bagi mereka yang sedang terpuruk. Gantilah dengan pendekatan yang lebih empatik seperti, “Aku mungkin tidak tahu persis apa yang kamu rasakan, tapi aku di sini untukmu.”
Di tengah dunia yang semakin kompetitif dan menuntut, saatnya kita memahami bahwa gangguan mental seperti depresi bukan kelemahan. Mereka butuh dukungan, bukan penghakiman.