JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID, Kota Jambi, Jambi – Hadri Hasan, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin (UIN STS) Jambi, duduk sebagai saksi dalam mega korupsi auditorium. Keterangan Hadri Hasan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) ini untuk terdakwa Imron Rosyadi, Ketua Pokja.
Selain Hadri Hasan, JPU Kejaksaan Negeri Muarojambi juga menghadirkan Johanis kepada Biro Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan UIN STS Jambi. Selain itu, ada Junaidi Ketua ULP; Yunan, Bendahara pengeluaran pembangunan gedung auditorium UIN STS Jambi, Amelia Puspita Sari; serta Sri.
Dalam kesaksiannya, mantan orang nomor satu di UIN STS Jambi, mengatakan, dia menunjukkan Hermantoni sebagai PPK. Karena memenuhi syarat, karena punya sertifikat. "Karena Hermantoni memiliki kualifikasi," kata Hadri Hasan.
Ia pun mengaku tidak ingat dan menyangkal terkait pertemuannya dengan Junaidi, Kepala ULP terkait pemenang lelang. Menurut Junaidi dalam sidang lalu, ia menghadap Hadri Hasan dan membahas pemenang lelang.
Ilham, Penasehat hukum Imron Rosyadi, kembali mencecar saksi, “Tidak mungkin Kepala ULP, tiba-tiba langsung menghadap bapak selaku rektor. Apa yang dibahas saat itu?” Mendapati pertanyaan itu, saksi terus mengelak. "Tidak ada pertemuan itu, saya sebagai KPA-kan boleh tahu siapa pemenang lelang," kata Hadri Hasan.
Begitu juga dengan surat penugasan survei terhadap PT Lambo Ulina (Lamna). Hadri Hasan menyangkal. Dia mengaku tidak mengetahui soal itu. “Khusus surat ini saya tidak ingat,” jawab Hadri Hasan terhadap pertanyaan tim penasehat hukum. “Kalau dengan surat-surat bermasalah bapak langsung tidak ingat,” kata Ilham. Hadri Hasan mengaku laporan diterimanya hanya sebatas lisan saja. "Laporannya cuma lisan saja, tidak ada bukti laporan tertulis, seharusnya laporan dibuat terlulis," akunya.
Dalam perjalanan pembangunan gedung auditorium UIN STS Jambi ada perubahan anggaran yang dilakukan, awal perencanaan kampus merincikan Rp 40 miliar, namun yang disetujui sebesar Rp 35 miliar. Di tengah perjalanan ada perubahan anggaran lewat addendum. Sehingga anggaran berubah menjadi Rp 37 miliar.
"Dalam addendum itu, ada beberapa masalah, dari kurangnya tenaga dan bahan pokok bangunan, jadi kita minta tambahan anggaran, itu sudah dilakukan rapat sebelumnya," jelasnya.
Hadri Hasan, mengunkapkan, masalah mulai timbul setelah tiga atau enam bulan ketika pekerjaan berjalan. "Tiga apa enam bulan berlalu itu, kendalanya banyak bahan dan kekurangan uang," tandasnya. (mg16/ira)