KPID DKI: Indonesia Harus Perkuat Regulasi Media Baru demi Kedaulatan Informasi
Ketua KPID DKI Jakarta, Rizky Wahyuni.-ist/jambi-independent.co.id-
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Ekosistem media di Indonesia tengah bergerak cepat menuju konvergensi. Batas antara televisi, radio, dan platform digital semakin memudar seiring meningkatnya konsumsi konten berbasis Over-The-Top (OTT). Pergeseran ini menjadikan pengaturan media baru sebagai isu strategis yang tidak lagi dapat ditunda.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Peta Jalan Penyiaran 2025-2035 di Kantor KPI Pusat pada Kamis 13 November 2025, Ketua KPID DKI Jakarta Rizky Wahyuni menegaskan bahwa Indonesia harus memperkuat regulasi penyiaran di tengah masifnya ekspansi platform digital global yang hingga kini belum berada dalam pengawasan nasional.
"Jika kita tidak memperkuat regulasi dan menata media baru sejak sekarang, kita berpotensi kehilangan kedaulatan informasi. Ketahanan informasi bukan hanya soal menghentikan hoaks, tetapi memastikan ruang publik digital kita tidak sepenuhnya ditentukan oleh platform asing," ujar Rizky.
Ia menjelaskan bahwa terbukanya pasar digital membuat Indonesia dibanjiri narasi global yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan nasional. Dominasi OTT dan media asing tidak hanya mengikis identitas bangsa, tetapi juga memperlebar kesenjangan antara media lokal dan pemain global.
BACA JUGA:DPR Bahas Revisi UU Konsumen dan KPPU untuk Perkuat Aturan Transaksi Online
Menurut Rizky, tanpa regulasi yang kuat, ekosistem media lokal berisiko "mati suri", karena tidak mampu bersaing di tengah arus teknologi yang dikendalikan platform internasional. Tantangan yang dihadapi bukan sekadar teknis penyiaran, tetapi berkaitan langsung dengan arah pembangunan bangsa.
"Kedaulatan informasi bukan sekadar isu teknis. Ini adalah isu strategis menyangkut masa depan bangsa. Jika ruang informasi dikuasai sepenuhnya oleh platform yang tidak berada dalam yurisdiksi nasional, maka kita kehilangan kemampuan menjaga kualitas informasi yang dikonsumsi masyarakat," tegasnya.
Rizky menyoroti mendesaknya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi modern. Ia menekankan bahwa regulasi yang hanya berfokus pada penyiaran analog tidak dapat menjawab persoalan konvergensi media saat ini.
"UU Penyiaran saat ini sudah 23 tahun usianya, sudah usang dan tertinggal jauh dari perkembangan teknologi. Perlu revisi segera yang dapat memberikan kejelasan terhadap definisi penyiaran di era konvergensi," ungkapnya.
BACA JUGA:Simak Nih! Kementerian Keuangan Buka Rekrutmen CPNS 2026 untuk Lulusan SMA
Menurutnya, payung hukum baru harus memberikan perlakuan setara bagi industri penyiaran konvensional dan media baru, termasuk sistem algoritma, kecerdasan buatan (AI), dan model distribusi digital yang kini menjadi arus utama.
Tanpa regulasi yang relevan, lembaga penyiaran nasional akan semakin tersisih, sementara platform global terus beroperasi tanpa batasan wilayah dan tanpa kewajiban mengikuti standar konten nasional.
Dalam FGD tersebut, Rizky menekankan bahwa peta jalan penyiaran harus mampu menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan publik.
"Peta jalan penyiaran 2025-2035 harus memastikan bahwa penguatan regulasi tidak dimaksudkan untuk membatasi inovasi, tetapi justru menciptakan ekosistem yang sehat, setara, dan berorientasi pada kepentingan publik," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



