Kontroversi “Merah Putih: One For All”: Kenapa Animasi Nasional Ini Banyak Dihujat?
Film animasi Indonesia Merah Putih: One for All-ist/jambi-independent.co.id-
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID- Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, film animasi "Merah Putih: One For All" menjadi sorotan tajam setelah trailer resminya dirilis.
Alih-alih mendapat sambutan positif, karya tersebut justru dibanjiri kritik pedas dari publik dan praktisi industri kreatif.
Pertama, kualitas visualnya dianggap ketinggalan zaman. Banyak netizen menyebut animasi ini terlihat memiliki karakter kaku, minim ekspresi, latar statis, tanpa efek pencahayaan atau bayangan yang hidup.
Bahkan, suara burung terjebak di kandang terdengar seperti monyet, menambah nuansa mistis dalam decak tawa warganet. Ditambah juga dengan desain poster yang kurang menarik membuat banyak netizen yang berupaya membuat ulang poster versi mereka.
BACA JUGA:Mengenal Brainstorming: Cara Menggali Ide Kreatif Tanpa Batas
Kedua, muncul dugaan penggunaan aset 3D siap pakai dan bukan produksi orisinal. Beberapa karakter film disebut identik dengan model dari Reallusion Content Store, serta adegan latar yang teridentifikasi seharga belasan dolar.
Netizen sempat mempertanyakan salah satu latar tempat yang muncul di trailer film yang menunjukkan gudang dengan senjata. Diduga latar yang digunakan pun berasal dari animasi yang dibeli.
Keorisinilan dipertanyakan, apalagi dengan anggaran yang disebut mencapai Rp 6,7 miliar sementara hasil visual jauh dari ekspektasi.
Ketiga, cerita yang dibawakan dipandang datar dan klise. Plot tentang anak-anak dari berbagai suku yang mencari bendera pusaka dinilai seperti iklan layanan masyarakat, bukan narasi layar lebar yang menyentuh hati.
Banyak yang mempertanyakan apakah film ini benar-benar karya artistik atau sekadar proyek seremonial.
BACA JUGA:Baru Lulus ASN di Aceh, Pria Asal Sungai Penuh Tewas dalam Kamar Kos
Keempat, durasi produksi diduga sangat singkat, kurang dari satu atau dua bulan padahal nilainya besar. Hal ini membuat banyak pihak menduga film dibuat terburu-buru demi momentum nasionalisme, bukan berdasarkan kualitas dan pengembangan artistik yang matang.
Kritikan yang timbul dari masyarakat ini membuat timbulnya perbandingan dengan animasi lokal lainnya seperti "Jumbo" yang tayang tahun ini dan animasi "Battle of Surabaya" yang juga mengangkat tema nasionalisme.
Meski begitu, kritik ini juga membuka ruang diskusi penting tentang nasib animasi lokal. Beberapa pihak menilai bahwa kritik keras, jika disikapi konstruktif, bisa menjadi momentum dorongan kualitas dan penguatan standar dalam industri animasi Indonesia ke depan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



