Mengenal Buzzer, Profesi Baru Demokrasi Hari ini

Mengenal Buzzer, Profesi Baru Demokrasi Hari ini

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi 

Digitalisasi yang merasuk semua lini kehidupan telah melahirkan banyak fenomena baru. Dalam ranah interaksi personal maupun komunitas, kehadiran media sosial melahirkan trend dan pekerjaan baru. Hari ini kita mengenal atau minimal pernah mendengar istilah Buzzer atau pendengung sebagai pekerjaan baru.

Dalam pemahaman awam, buzzer dikenal akan kecenderungannya digunakan elite untuk kampanye hitam. Suatu asumsi yang tak salah, jika merunut aktivitas yang mereka lakukan. Serang habis, ada atau tanpa data, tunjuk hidung hingga ke ranah personal hanya untuk membela pihak tertentu.

Buzzer, membawa banyak pengaruh terhadap perkembangan dalam media sosial. Buzzer adalah seseorang yang menyuarakan suatu pendapat secara langsung, dengan menggunakan identitas pribadi atau identitas yang disembunyikan, untuk menyatakan suatu kepentingan di dalam media sosial.

Biasanya buzzer dibutuhkan dalam media sosial, untuk mendukung suara, opini atau isu yang berisi perorangan atau sekelompok orang, dengan suara yang sama yang bisa mempengaruhi pengguna media sosial yang lainnya.

Buzzer memiliki peran dan fungsi dalam aktivisme siber. Antara lain membentuk wacana politik; menciptakan isu sosial dan politik, yang biasanya advokatif, konstruktif, destruktif, dan agitatif; menyiapkan counter discourse bilamana terjadi perang siber dengan buzzer lainnya; serta bergerak dalam kelompok kecil bersifat independen dan partisan. 

Tentu saja kehadiran buzzer menjadi pro kontra, apalagi ini dijadikan lahan pekerjaan oleh segelintir orang. Pengamatan penulis, sebenarnya terdapat tiga motif serangan buzzer sebagai cyber troops atau pengerahan pasukan di dunia maya, tiga motif ini kemudian yang menjadi alasan buzzer muncul dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Pertama, motifnya personal, yang timbul dari ketidaksukaan seseorang terhadap orang lain. Ketidaksukaan ini dimanfaatkan buzzer untuk black campaign atau melakukan kampanye negatif yang menyerang orang lain. 

Motif kedua adalah ekonomi. Mereka menjadikan ini lahan pekerjaan yang berbayar atau menerima upah. Bahkan ketika narasi yang digaungkan buzzer viral di media sosial dan mendatangkan banyak akun followers atau pengikut, maka pundi-pundi dalam bentuk tawaran iklan pun menghampiri para buzzer tersebut.

Motif ketiga, politik, buzzer hadir atas pesanan kekuatan atau kelompok politik serta kepentingan. "Jadi ketiga motif ini yang menjadikan kenapa sekarang ini buzzer itu menjadi hal yang tidak dapat terhindarkan dalam demokrasi kita.

Sebenarnya, buzzer dapat dimaknai positif kalau informasi yang ditampilkan tidak partisan dan tidak tendensius. Sementara, buzzer dimaknai negatif apabila yang dilakukannya menyumbang narasi-narasi identitas. Kini, narasi buzzer lebih cenderung mencari sensasi. Terjadi pula pergeseran buzzer yang semula beraksi secara individu menjadi kolektif dan masif.

Hari Buzzer mengubah paradigma aktivisme siber kita yang dulu cenderung membangun representasi, melawan sensor negara, sekarang ini lebih condong mendapatkan pengakuan dan sesuatu dari hiruk pikuk ruang publik. Dan sekarang yang kentara digunakan elite untuk melakukan black campaign kepada siapa saja yang diminta pihak yang memesan.

Jika di cermati, dalam ekpresi diskursus politik, wacana yang dilontarkan buzzer biasanya bersifat testing the water, untuk melihat aksi dan reaksi kelas menengah warganet.

Sarana yang digunakan buzzer dan KOL adalah melalui akun media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok dan akun media sosial lainnya yang sedang populer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: