Jebakan Ekonomi Ekstraktif, Kolase Kerusakan Lingkungan di Jambi

Jebakan Ekonomi Ekstraktif, Kolase Kerusakan Lingkungan di Jambi

"Penjaga bumi bukan mereka yang ada di gedung-gedung tinggi, melainkan mereka yang setiap hari terancam oleh industrialisasi untuk mempertahankan ruang hidup dan lingkungan" (Arundati Roi, Penulis).

Pembangunan harus berorientasi pada tiga jangkar yang sama penting: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan kata lain, untuk menumbuhkan ekonomi, pembangunan tak bisa mengabaikan konflik sosial dan kerusakan lingkungan sebagai eksesnya. Pembangunan berkelanjutan harus menimbang ketiga kaki ini seimbang. 

Sejak Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan UU Penanaman Modal dalam Negeri sejak akhir 1960 mendorong eksploitasi sumber daya alam itu menciptakan hubungan mutualisme antara bisnis dan kekuasaan. Akibatnya, masyarakat lokal di sebuah wilayah yang tereksploitasi menjadi tersisih dan kehilangan ruang hidup.

Kondisi ini lebih mengkhawatirkan sejak ditetapkannya UU Ciptaker tahun 2020, karena  paradigma UU Cipta Kerja menunjukkan negara diarahkan pada pengelolaan sumber daya yang ekstratif. Hal ini berbahaya karena bertentangan dengan arus global bahwa pengelolaan sumber daya seharusnya berbasis pada inovasi dan memperhatikan aspek lingkungan. 

Akibatnya Indonesia akan terjebak dalam ekonomi ekstraktif secara lebih dalam untuk mendapatkan pendapatan negara dan jadi modal pembangunan. Strategi warisan pemerintah kolonial Belanda ini membuat lingkungan jadi rusak dan memicu konflik tenurial yang mengorbankan masyarakat adat dan komunitas lokal.

Walau sektor ekstraktif ini sangat penting bagi keberlangsungan ekonomi Indonesia akan tetapi pada praktiknya sektor ini menimbulkan banyak masalah dalam skala mikro maupun makro. 

Kelemahanya, ekonomi ekstraktif merupakan sebuah sistem yang sangat peduli pada keuntungan maksimal perusahaan dengan mengambil sebanyak mungkin sumber daya alam yang tersedia, tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar sumber-sumber daya ekonomi yang disedot, mengambil bahan baku dari alam dilanjutkan dengan pengolahan. Mengeruk sumber daya alam: tambang, lahan, kayu, laut. Di Indonesia, skemanya lebih mencemaskan karena eksploitasi itu didelegasikan kepada industri.

Akibat lain konflik agraria tak terhindarkan. Konflik ini selalu timpang karena ada perbedaan hukum yang dipakai oleh negara dalam menengahi konflik tersebut.

Satu fakta yang tak bisa kita pungkiri pengelolaan dan ekstraksi sumber daya sebagai fenomena politik, karena berada di arena pertarungan beragam kepentingan, di berbagai level yang saling interkoneksi, baik global, nasional maupun sub-national. Melalui pendekatan ini, teridentifikasi bahwa diskursus tata kelola sumberdaya ekstraktif sangat beragam, tidak semata-mata terbatas soal manajemen tetapi meluas hingga ranah yang sangat politis, dari isu kepemilikan sumberdaya (seperti nasionalisme sumber daya, politik lisensi dan rezim fiskal, dsb) hingga terakomodasinya kepentingan publik dalam tata kelola sumberdaya ekstraktif tersebut.

Kolase Ekonomi Ekstratif di Jambi

Praktek ekonomi ekstaktif di Jambi juga telah menjadi pemicu kerusakan lingkungan. Luas kerusakan hutan di Provinsi Jambi selama 15 tahun terakhir sudah mencapai 1,18 juta hektare (ha) atau 56 persen dari total 2,1 juta ha hutan di daerah itu. Kemudian hutan alam yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan dan HTI di Jambi mencapai 883.000 ha.

Meluasnya kerusakan hutan dan meningkatnya sedimentasi sungai di Jambi membuat bencana banjir di daerah itu semakin sering terjadi. Banjir di Jambi beberapa tahun terakhir terjadi hingga empat kali dalam setahun. Umumnya banjir terjadi setiap musim hujan seperti di aal tahun dan akhir tahun seperti saat ini.

Desa yang sering dilanda banjir di Jambi juga terus bertambah. Jumlah desa yang sering dilanda banjir di Jambi saat ini mencapai 244 desa. Areal pertanian dan pemukiman yang selalu terendam banjir di seluruh desa tersebut mencapai 180.305 

Kenapa hal ini bisa terjadi ? Dengan gampang di jawab, bahwa sebagian besar kerusakan hutan tersebut berada di kawasan resapan air daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, mulai dari kawasan hulu, Kabupaten Kerinci hingga hilir, Kabupaten Tanjungjabung Timur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: