Mal Fungsi Perbankan di Tengah Anomali Ekonomi

Mal Fungsi Perbankan di Tengah Anomali Ekonomi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Teori dasar mikro ekonomi mengatakan jika suku bunga kredit turun maka pertumbuhan kredit akan naik. Tetapi mengapa teori ini tidak jalan di masa pandemi Covid-19? Apakah teorinya sudah usang ditelan zaman? Anomali atau kejanggalan apa yang menjadi penyebabnya? Kenapa keran penyaluran kredit perbankan tersendat ? Padahal kredit adalah napas utama bisnis perbankan.

Kondisi ini menimbulkan dua kutub pandangan yang berbeda. Ada yang menyalahkan perbankan, karena dianggap meninggalkan perekonomian yang sedang dalam kondisi sulit. Sedangkan pendapat lain melihat, pertumbuhan kredit mandek adalah hal yang wajar atau rasional karena permintaan kredit lemah. Lesunya permintaan kredit karena lemahnya aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19. 

Meski ada beberapa kasus yang berbeda, sebagai jantung perekonomian, kinerja perbankan di tengah pandemi Covid-19 sudah tidak bekerja sebagaimana mestinya alias malfungsi.

Lembaga keuangan, khususnya perbankan memiliki peran yang sangat penting terhadap pergerakan roda perekonomian Indonesia. Ketika negara sedang melakukan proses pemulihan ekonomi, umumnya bank masih belum bisa optimal dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi keuangan internasional yang menggambarkan rasio perbandingan jumlah kredit yang diberikan pada pihak ketiga (LDR/ Loan to Deposit Ratio). 

Peranan intermediasi lembaga perbankan sangat berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian suatu negara. Ketika terjadi penurunan jumlah kredit yang disalurkan akibat sikap kehati-hatian dari pihak bank, secara tidak langsung akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan.

Fungsi Bank dalam ekonomi seperti tubuh manusia, salah satu organ vital di dalam tubuh adalah jantung, yang tugasnya adalah menyedot darah dan memompakannya kembali ke sekujur tubuh.

Dalam perekonomian, jantung bisa dianalogikan dengan sektor keuangan, khususnya perbankan. Bank berfungsi menyimpan dana dari masyarakat dalam bentuk Dana Pihak Ketiga (DPK) berupa giro, tabungan, dan deposito.

Dan yang terhimpun dari masyarakat itu seharusnya dipompakan, atau diputar kembali ke dalam perekonomian dalam bentuk pinjaman atau kredit.

Sayangnya, jantung perekonomian Indonesia tak kunjung optimal, sejak sebelum krisis ekonomi 1998 sekalipun, bahkan sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan jauh lebih rendah dari rerata negara berpendapatan menengah-bawah (lower-middle income).

Wabah COVID-19 dalam dua tahun terakhir semakin memperlemah jantung perekonomian. Perbankan kian hati-hati (baca kikir) menyalurkan kredit, padahal dana masyarakat yang disedotnya terus mengalir deras.

Bukannya untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat, perbankan justru memperbanyak membeli surat utang negara (SUN). Berdasarkan data Asian Development Bank sebelum pandemi kepemilikan SUN berdenominasi rupiah oleh perbankan, per Maret 2020 hanya 26,9 persen. 

Setahun kemudian, setelah pandemi mulai masuk Indonesia, porsi pembelian SUN oleh perbankan naik signifikan menjadi 37,9 persen pada Maret 2021. Angka ini membuat perbankan sebagai pembeli terbesar, mengalahkan investor asing.

Jika keadaan ini terus berlanjut, jangan terlalu banyak berharap segera terjadi pemulihan ekonomi. Organ-organ perekonomian sulit bangkit karena kekurangan darah. Kalaupun saat ini terjadi pertumbuhan yang positif, itu hanya didominasi beberapa sektor ekonomi ekstratif yang kurang berdampak pada masyarakat bawah.

Anomali Perekonomian

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Anomali  ditengah kondisi dunia yang sedang krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat hasil positif. 

Sampai dengan triwulan III-2021, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 3,24 persen (c-to-c). Dari sisi produksi, pertumbuhan terbesar terjadi pada Lapangan Usaha Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 9,81 persen. Sementara dari sisi pengeluaran semua komponen tumbuh, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 22,23 persen.

Pertumbuhan ekonomi (y-on-y) pada triwulan III-2021 mengalami peningkatan di hampir seluruh wilayah, kecuali kelompok di Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang mengalami kontraksi pertumbuhan 0,09 persen. Namun, Pulau Jawa dengan kontribusi sebesar 57,55 persen mencatat pertumbuhan sebesar 3,03 persen.

Pertumbuhan ekonomi ini dikatakan anomali, karena pertumbuhan ekonomi tidak diikuti peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena mengukur kesejahteraan hanya dari PDB dan pertumbuhan ekonomi seolah menghilangkan kenyataan ada ketimpangan di masyarakat dalam menikmati hasil pembangunan.

Hal ini disebabkan produk domestik bruto hanya melihat pendapatan secara rata-rata dan pertumbuhan ekonomi tidak melihat manfaat pembangunan pada manusia. Hanya mengandalkan PDB tidak akan menyelesaikan persoalan ketimpangan yang melebar meskipun pertumbuhan ekonomi sangat tinggi.

Ada banyak cara mengukur apakah pertumbuhan ekonomi menyejahterakan masyarakat, dapat diukur melalui, antara lain, umur harapan hidup, angka kematian bayi, dan angka partisipasi sekolah.

Bahkan Program Pembangunan PBB (UNDP) menggunakan Indeks Pembangunan Manusia yang mengukur derajat kesehatan, angka partisipasi sekolah, dan pertumbuhan ekonomi untuk mengukur manfaat pembangunan.

Termasuk melihat manfaat pembangunan dari sisi kebebasan dan rasa berdaya. Kebebasan itu, antara lain, bebas dalam pilihan politik, bebas memasuki lapangan kerja karena memiliki keterampilan memadai, hingga bebas melakukan tukar-menukar di pasar karena memiliki kesempatan sama. 

Ada dua faktor, yang membuat pertumbuhan ekonomi anomali. Pertama, ekonomi Indonesia digerakkan oleh utang luar negeri yang angkanya terus naik. Utang Indonesia terakumulasi mencapai Rp 6.711 triliun. Utang luar negeri bertambah setiap tahun. Utang selanjutnya menjadi sumber pendapatan utama pemerintah dan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.

Faktor kedua, pertumbuhan ekonomi didorong ekspor bahan mentah, seperti bahan tambang, migas, hasil perkebunan dan hutan, sehingga tidak banyak menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Terakhir, pertumbuhan ekonomi didorong oleh investasi luar negeri yang membuat sumber daya alam kian dikuasai asing.

Karena itu, menjadi tugas pemerintah memberikan kesempatan kepada semua orang untuk mendapat manfaat yang sama dari pembangunan. Salah satunya dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kerja secara merata, serta terus-menerus mengambil peran dalam memenuhi kebutuhan dasar warga dalam hal pangan, kesehatan, dan pendidikan.

***** Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan  Pengamat Politik di Jambi****

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: