Dugaan Kartel di Balik Harga Minyak Goreng yang Melambung Tinggi

Dugaan Kartel di Balik Harga Minyak Goreng yang Melambung Tinggi

Alasan produsen minyak goreng dan produsen CPO entitas bisnisnya berbeda. Perusahaan minyak goreng harus membeli CPO untuk bahan baku utamanya. Ketika harga CPO dunia merangkak naik, harga minyak goreng juga turut naik. 

Nilai ekspor CPO Indonesia memiliki kecenderungan terus naik seiring kebutuhan CPO di beberapa negara. Meningkatnya harga CPO semestinya memberikan keuntungan bagi negara produsen seperti Indonesia. Apalagi saat ini Malaysia sebagai salah satu negara penghasil CPO tertekan jumlah produksinya, sehingga kita berpotensi mengambil peluang tersebut dengan menggenjot volume ekspor.

Berdasarkan data Periode Januari – Oktober 2021 jumlah produksi CPO Indonesia 23,24 juta ton, sedangkan nilai ekspor mencapai US$ 23,95 miliar. Jumlah itu meningkat 71,13 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$ 13,99 miliar. Negara tujuan eksport terbesar adalah China (4,12 juta ton), India (2,80 juta ton), Pakistan (2,24 juta ton), dan Bangladesh (1,14 juta ton).

Meski demikian, seharusnya pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri harus tetap menjadi prioritas sebelum menetapkan eksport. Sayangnya ini tak dilakukan pemerintah. Eksport yang berlebihan mengorbankan konsumen dalam negeri.


Subsidi suatu keharusan

Kembali pada pertanyaan, mengapa Malaysia bisa menjual minyak goreng dengan harga murah ? Jawabannya karena Malaysia memberi Subsidi Harga Minyak Goreng untuk rakyatnya. Dikutip dari Bernama, Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Konsumen Malaysia tahun lalu mengguyur RM 150 juta (Rp 515 miliar) untuk subsidi harga minyak goreng ritel.

Malaysia juga sudah menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng sawit kemasan yang efektif berlaku 1 Agustus 2021 silam. Dengan adanya subsidi dan aturan tersebut, harga jual minyak goreng di Malaysia menjadi RM 2,5 atau sekitar Rp 8.500 per kg.

Di Indonesia sendiri subsidi minyak goreng baru mulai dilakukan saat ini dengan program satu harga Rp 14.000 per liter. Selama ini belum ada regulasi yang jelas mengatur soal subsidi minyak goreng. Di UU Cipta Kerja, khususnya dalam aturan perkebunan, baru lah diatur dana pungutan ekspor sawit kelolaan BPDPKS boleh digunakan untuk subsidi kebutuhan pangan, contohnya minyak goreng.

Skema ini menguntungkan para kartel usaha yang bergerak dalam industri ini, setelah mendapat HGU, insentif pajak, kemudahan perizinan dan terakhir mendapat jaminan harga pasar melalui subsidi pemerintah. Tapi setidaknya rakyat bisa membeli minyak goreng lebih murah. Meski simalakama, hari ini subsidi menjadi keharusan.

*Penulis merupakan pengamat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: