Mengurai Akar dan Solusi Konflik Areal Konsensi di Provinsi Jambi

Mengurai Akar dan Solusi Konflik Areal Konsensi di Provinsi Jambi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Konflik pertanahan atau lahan yang terjadi di masyarakat muncul dalam beragam bentuk. Pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik tersebut pun tidak sedikit, baik negara maupun institusi civil society seperti ; lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tetapi proses penyelesaian sengketa acapkali menemui jalan buntu sehingga menjadikan konflik semakin berlarut-larut.

Hal ini antara lain diakibatkan oleh masih lemahnya identifikasi terhadap akar-akar penyebab konflik dan pemetaan aspek-aspek social, politik, ekonomi dan budaya yang terlibat didalamnya. 

Akibatnya tawaran-tawaran penyelesaian konflik acapkali merupakan formula yang bersifat sementara Identifikasi dan penelitian mendalam terhadap akar-akar konflik dan pemetaan yang akurat terkait aspek-aspek social, ekonomi, politik dan cultural amat diperlukan guna membantu penyelesaian sengketa pertanahan secara permanen.

Secara mikro sumber konflik dapat timbul karena adanya perbedaan atau benturan nilai (cultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data, atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. 

Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut PT Wira Karya Sakti (WKS), salah satu anak perusahaan Sinar Mas Forestry Group, sebagai penyumbang konflik lahan terbesar di Provinsi Jambi belasan tahun silam.

Berdasarkan data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) KPA, dari 24 konflik agraria di Jambi yang telah berlangsung puluhan tahun, sebagian besar disebabkan aktivitas PT WKS. Mayoritas konflik terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan.

Proses-proses perizinan pada perusahaan ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat di lima kabupaten di Provinsi Jambi dengan total korban itu sekitar 17.000 jiwa yang hari ini lahannya telah hilang, di atas lahan seluas 14.286 hektare yang tersebar di lima kabupaten, yakni Kabupaten Batanghari, Tebo, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Konflik lahan ini juga membuat 3.446 KK di 15 desa terdampak.

Untuk mengurai permasalahan yang dihadapi, termasuk emergency response terhadap dampak konflik lahan di Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di tengah implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus siap berkolaborasi bersama untuk mengurai bottleneck penyelesaian konflik lahan di Jambi. Dalam hal ini penting untuk dibuat suatu proses bisnis yang disepakati bersama untuk mewujudkan Reforma Agraria di lahan aset yang selama ini bermasalah. Artinya, ada keterlibatan masyarakat dalam rencana pelibatan lahan konsesi sedari awal ketika izin diberikan.

Selain itu Implementasi UU CK juga akan didorong untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria. Dalam catatan saya, paling tidak ada delapan Peraturan Pemerintah turunan UUCK yang dapat mempercepat penanganan konflik agraria. 

Menyikapi perkembangan tersebut, perlu dilakukan gap analysis terhadap kerangka kebijakan Reforma Agraria yang ada, yang memberi dampak sosial ekonomi yang lebih adil bagi masyarakat desa di Provinsi Jambi.

Kedepan penyelesaian sengketa pertanahan afau lahan dengan model mediasi perdata yang mangacu kepada nilai nilai kearifan lokal perlu dikembangkan. 

Dengan prinsip musyawarah bertujuan melibatkan atau mengajak semua pihak untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kesetiaan dan ketaatan masyarakat terhadap apa yang disepakati bersama akan dijaga pula secara bersama-sama.

Karena kesepakatan tadi adalah buah dari pikiran dan pendapat bersama dalam nuansa kekeluargaan dan saling menghormati sesama dan nilai kearifan lokal ini diharapkan dapat menjaga kesatuan yang bulat dan utuh antara Manusia, Alam dan Tuhan, dalam nuansa spiritual, perdamaian dan persaudaraan.*********Akademisi******

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: