Dampak Perubahan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Belanja Pemerintah

Dampak Perubahan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Belanja Pemerintah

Oleh: Marihot Pahala Siahaan, SE, MT

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat

Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi

*)Tulisan ini pendapat pribadi penulis, tidak mewakili institusi DJP

Pendahuluan

Bulan April 2022 merupakan bulan yang istimewa dalam sejarah pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan barang dan jasa kena pajak di Indonesia. Setelah kurang lebih 38 tahun berlaku tarif PPN sebesar 10%, mulai 1 April 2022 tarif PPN yang berlaku di Indonesia berubah menjadi 11%.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN diubah dari 10% menjadi 11%.  Tarif PPN ini akan diubah kembali menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025, selain itu untuk kemudahan dalam pemungutan PPN, atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu diterapkan tarif PPN ‘final’ misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha, yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pemberlakuan UU No 7 tahun 2021 membuat pada tahun 2022 ini terdapat 2 masa pengenaan PPN dengan tarif berbeda. Penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak yang dilakukan pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2022 dikenakan PPN dengan tarif 10%. Adapun utnuk jangka waktu 1 April sampai dengan 31 Desember 2022 dikenakan PPN dengan tarif 11% atau tarif PPN final.

Belanja Pemerintah dan Tarif PPN yang Berlaku

Dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sehari-hari, pemerintah melakukan pengeluaran belanja yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Pengeluaran pemerintah tersebut mengandung unsur pajak yang harus dibayar, dipotong, atau dipungut oleh instansi pemerintah. Pajak tersebut antara lain, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Meterai.

Proses pemungutan, pemotongan, dan pembayaran pajak harus dilakukan oleh pelaksana anggaran di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelaksana anggaran baik di pemerintah pusat atau di pemerintah daerah yang meliputi Penguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Pejabat Penanda tangan Surat Perintah Membayar, dan Bendahara harus memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Perubahan besaran tarif PPN dari 10% menjadi 11% harus dipahami karena tentunya memiliki pengaruh dalam pelaksanaan belanja pemerintah.

Di sisi lain, instansi yang melakukan perencanaan dan pembayaran anggaran instansi pemerintah pusat dan/atau daerah seperti Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Badan Keuangan Daerah, atau Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, juga perlu memahami perubahan tarif PPN ini. Hal ini perlu agar tidak terjadi kendala yang berarti terkait dengan pembayaran atas pengeluaran pemerintah pusat ataupun daerah yang dikelola oleh instansi pemerintah.

Dampak Perubahan Tarif PPN yang Harus Diantisipasi

Koneskuensi dari perubahan tarif PPN terhadap belanja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tentunya harga barang dan/atau jasa yang dibeli oleh insntansi pemerintah menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Kenaikan harga sebesar 1% dari harga perolehan barang dan/atau jasa akan dibayar dari anggaran belanja instansi pemerintah. Agar anggaran yang tersedia dalam DIPA atau DPA tahun 2022 dapat terpenuhi (mencukupi) sesuai dengan target capaian output yang telah ditetapkan maka setidaknya ada enam hal yang perlu dimitigasi oleh setiap instansi pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: