Dosen Fisip dan Mantan Aktivis Pers Mahasiswa Itu Sudah Pergi

Dosen Fisip dan Mantan Aktivis Pers Mahasiswa Itu Sudah Pergi

Oleh Antony Z Abidin

Burhan Magenda adalah redaktur HARIAN KAMI  yg pada awalnya diterbitkan oleh Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia thn 1966.

Bekerjassma dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indobesia (KAMI).

Pada saat itu IPMI menjadi Depatemen Humas dan Pers KAMI, yang mengelola informasi dan media.

KAMI menerbitkan  sejumlah koran mahasiswa di berbagai kota. antara lain Harian Kami di Jakarta. Juga kota2 lainnya: bandung, jogya, Surabaya, Banjarmasin dan Makasar dll. Korsn2 tsb kemudian menjadi koran umum (punya SIUP/ STT) karena pengelolanya bukan lagi mahasiswa.

Pasca Malari, banyak koran2 kritis yg dibredel. Yg tdk ditutup antara lain Kompas, Sinar Harapan dan Pos Kota.

Harian KAMI, kena bredel. Prmrernys Nono Anwar Makarin, ayah Nadiem Makarim, kuliah ke Harvard dsn Burhan Magenda ke Stanford dan selanjutnya ngambil PhD di Cornell.

Anwar Makarim setelah dpt gelar PhD di Harvard pulang buka biro/kantor hukum. Burhan berkarier sebagai dosen di FISIP UI.

Melalui Burhan Magenda, Nono Makarim yg baru pulang  ke Indonesia minta saya ketemu dia di kantornya, Wisma Metropolitan. Intinya, ngajak saya bergabung dg dia yg waktu itu baru merintis usahanya.

Karena saya bukan sarjana hukum dan berstatus jd asisten dosen di FisipUi, saya waktu itu merasa lebih cocok jadi staf pengajar.

Waktu Daoef Joesoef jadi Menteri P&K saya didatangi Ramzi Tadjudin, rombongan out group FISIP UI.

Mereka bukan alumni tetapi tiba2 jadi pimpinan fakultas dan yg jadi dekan Manase Malo, pendatang baru yg jugabukan orang dalam lingkungan UI.

Ramzi bilang kepada saya yg waktu itu sdh aktif jadi staf pengajar —dan bahkan dikasih ruangan kerja:

 “You blacklist, ga bisa jadi dosen di UI.”

Zaman itu para aktivis memang ga boleh jadi dosen di universitas negeri.

Kemudian ada kesempatan Test di Departemen Perdagangan. Saya ikut tes. Lulus.

Sewaktu sdh kerja di Dep Perdagangan itu, saya diam2 diberi tahu Kepala Biro Pendidikan FISIP UI, Pak Adi, mantan guru SMP saya. Bahwa ada surat Rektor UI yg ditandatangani Prof Nugroho Notosusanto selaku Rektor yg isinya saya diterima jadi (calon)  dosen tetap.

Surat Rektor itu, selain berisikan bahwa saya diterima jadi dosen FISIP UI, tetapi juga diminta agar saya melengkapi persyaratan administratif utk jagi calon pegawai negeri.

Saya datangi Thamrin Amal yg ketika itu Sekretaris jurusan Sosioligo. Thamrin bilang posisi saya akan diisi orang lain.

Dia minta saya ketemu  dekan. Namun dg nada pesimis.

Saya coba datang ke kantor dekan. Tapi di sana saya lihat dekan sedang ngobrol dg gengnya yg umumnya bukan alumni FISIP UI, dan tdk saya kenal.

Mereka ngobrol ringan sambil ketawa2. Dapat saya lihat dan dengar dgn jelas karena pintu ruangan dekan itu terbuka. Saya urung ketemu dekan.

Saya merasakan adanya banyak keanehan. Dunia akademis ketika itu sdh diintervensi berbagai kepentingan non-akademis.

Kenapa Prof Nugroho memanggil says? Bukannya rezim di fakultas bilang saya blacklist?

Sama juga halnya dg Bung Nono melalui Bung Burhan ketika sebelumnya minta saya bergabung dg dia, tidak lain karena sesama mantan aktivis IPMI dan pers mahasiswa.

Mengapa gak ketemu aja dg Prof Nugroho? Saya pikir percuma, karena kebijakan itu secara umum datang dari Mendikbud Daoef Joesoef yg notabene juga mantan aktivis pers mahsiswa?

Secara pribadi saya cukup dekat dg kedua tokoh penting itu.

Kalau saya datangi mereka, mungkin akan memberikan pengecualian.

Tetapi justru karena itu saya lebih memilih tetap bekerja di Dep Perdagangan dg gaji awal Rp 120.000.

Gaji pertama ketika itu saya serahkan ke ibu saya di Jambi. Waktu beliau wafat 14 Agustus 1981, gaji saya itu masih belum dibuka dari amplopnya dangan isi yg masih utuh.

Karena gaji itu pasti gs cukup, ketika Bang Zulharman, juga mantan aktivis IPMI,  minta saya mengelola majalah Promosi Ekonomi, saya langsung setuju. Kantornya pun dekat kantor Dep Perdagangan di Gambir.

Tetapi karena terlalu sibuk di luar, akhirnya saya minta berhenti l di Dep Perdagangan. Pak Koesmijat, Direktur Litbang yg menjadi atasan saya mencoba menahan saya agar tidak keluar. Dia menjelaskan program studi ke luar negeri yang sudah disiapkan untuk saya.

Saya tetap memilih profesi wartwan, dunia pers.

Bidang yg sdh saya geluti sejak usis 18 tahun ketika jadi reporter Sinar Munggu. Kantornya di jl Menteng Raya 31. Melalui koran itulah saya dlm usia 19 pd thn 1970 memperoleh kartu Anggota PWI.

Dalam setiap acara promosi doktor di FISIP UI yg saya hadiri dan jika Prof Burhan Magenda jadi promotor/tim penguji, beliau di forum itu selalu menyebut nama saya: 

“Rekan yg pernah menjadi sesama aktivis IPMI dan pers mahasiswa ketika jadi mahasiswa.”

Dosen FISIP dan mantan aktivis pers mahsiswa itu Senin (4/4) subuh kemaren wafat.

Saya ikut mengantarkan kepergiannya di Tanah Kusir Tak jauh dari makam Wikrama, mantan aktivis IPMI dan pers mahssiswa juga. Bersebelahan dg  makam Wikrama, adalah makam Prof Sasa Djuarsa Sandjaja, guru besar komunikasi FISIP UI.

Selamat jalan Bung Burhan. Kita semua menuju tempat yg sama: akhirat.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: