ETIKA BISNIS, PENERAPAN WHISTLEBLOWING: KASUS FRAUD PADA ASURANSI JIWASRAYA

ETIKA BISNIS, PENERAPAN WHISTLEBLOWING: KASUS FRAUD PADA ASURANSI JIWASRAYA

--

Oleh: Wiska Sridayanti

Mahasiswa Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Seiring dengan perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks, praktik kejahatan perekonomian dalam berbagai macam bentuk juga semakin berkembang. Praktik-praktik tersebut dalam istilah ekonomi biasa disebut sebagai kecurangan atau fraud.

Praktik fraud yang terjadi ini seringkali berupa penyalahgunaan kepentingan atau konflik kepentingan (conflict of interest), korupsi (corruption), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah (illegal gratuities), dan lain sebagainya (Alam, 2014).

Salah satu kasus fraud yang terjadi di indonesia yaitu, kasus yang terjadi pada Jiwasraya. Pada tangal 8 Januari 2020 Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) dan Kejaksaan Agung melakukan koordinasi terkait pemeriksaan Asuransi Jiwasraya, di kantor Pusat BPK, Jakarta. Ketua BPK, Agung Firman Sampurna, menjelaskan dalam kurun 2010 sampai dengan 2019, BPK telah dua kali melakukan pemeriksaan atas PT Asuransi Jiwasraya (PT AJS) yaitu Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Tahun 2016 dan Pemeriksaan Investigatif (Pendahuluan) Tahun 2018. 

 Dalam PDTT pada Tahun 2016 ini, BPK mengungkap 16 temuan yang berkaitan dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan dan biaya operasional PT AJS Tahun 2014 s.d. 2015. Temuan tersebut antara lain adalah investasi pada saham TRIO, SUGI, dan LCGP Tahun 2014 dan 2015 tidak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai; PT AJS berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas Transaksi Investasi Pembelian Medium Term Note PT Hanson Internasional (HI); dan PT AJS kurang optimal dalam mengawasi Reksadana yang dimiliki serta terdapat penempatan saham secara tidak langsung di satu perusahaan yang kinerjanya kurang baik, sehingga untuk menindak lanjuti hasil dari pemeriksaan di tahun 2016, BPK akhirnya melakukan investigasi yang dimulai pada tahun 2018, dan seperti yang telah diperkirakan, hasil dari investigasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan-penyimpangan yang berindikasi fraud dalam pengelolaan saving plan dan investasi yang dilakukan AJS.

BACA JUGA:Soal Longsor di Jalan Birun-Kerinci, Ini Kejadian Sebenarnya Menurut Polisi 

BACA JUGA:Hindari Erupsi Gunung Semeru, Ribuan Warga Lumajang Mengungsi

Sementara itu dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi pada PT AJS, BPK mendapat permintaan penghitungan kerugian negara dari Kejaksaan Agung melalui surat tertanggal 30 Desember 2019. Berdasarkan hal ini, BPK akhirnya melakukan dua pekerjaan yaitu, pemeriksaan investigatif dan melakukan perhitungan kerugian negara atas permintaan Kejaksaan Agung.

Lalu, pada 9 Maret 2020 pukul 14.00 WIB, Ketua BPK, Agung Firman Saputra, menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Tahun 2008 s.d. 2018 kepada Jaksa Agung di Kantor Kejaksaan Agung RI, dimana kerugian negara dalam kasus jiwasraya mencapai angka Rp16,81 Triliun.

Fraud atau kecurangan yang terjadi di AJS disebabkan oleh aktivitas jual beli saham yang dillakukan dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized loss. Kemudian, pembelian dilakukan dengan negosiasi bersama pihak-pihak tertentu agar agar memperoleh harga yang dinginkan, dan pihak yang diajak berinvestasi saham oleh manajemen terkait transaksi ini adalah grup yang sama sehingga ada dugaan dana perusahaan dikeluarkan melalui grup tersebut. selain investasi pada saham gorengan, kepemilikan saham tertentu melebihi batas maksimal di atas 2,5 persen. Saham-saham gorengan yang sering dibelinya, antara lain saham Bank BJB (BJBR), Semen Baturaja (SMBR), PT. PP properti Tbk.

Menurut Joseph (1997) menyebutkan ada tiga penyebab terjadinya occupational fraud yang digambarkan dalam fraud triangle. Pertama, Opportunity (kesempatan), Kedua, Pressure (tekanan), Ketiga, Rationalization (rasionalisasi), yang artinya fraud ini dapat terjadi karena adanya kesempatan atau kelonggran aturan, tekanan dari lingkungan kerja maupukeluarga, dan pola pikir yang menganggap bahwa tindakan fraud ini benar dengan alasan tertentu. Untuk mencegah terjadinya fraud, ada tiga unsur yang dapat diterpakan, salah satunya adalah dengan menerapkan budaya jujur dan etika yang tinggi, dimana tujuan dari etika adalah membantu mengambil keputusan tentang tindakan apa yang wajib diambil dan apa yang perlu kita pahami secara kolektif (Novita et al., 2020).

BACA JUGA:EGM Sultan Thaha Sebut Tak Ada Penumpang Terlantar : Lion Air Sudah Beri Kompensasi 

BACA JUGA:Dugaan Kasus Pelecehan di RSUD Raden Mattaher Jambi, Ini Perintah Gubernur Jambi Al Haris

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: