Merenungi Nuklir

Minggu 10-04-2022,14:14 WIB

Catatan: Masayu Indriaty Susanto

Perang Rusia dan Ukraina sudah berlangsung satu bulan lebih. Tepatnya 44 hari, dan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan usai. Kalau saja kedua negara tetangga itu saling serang hanya dengan rudal dan bom napalm atau termobarik, mungkin dunia tidak akan setegang saat ini. Namun semua paham jika perang yang terjadi adalah perang beraroma nuklir. 

Rusia adalah pemilik senjata nuklir terkuat dunia. Dan di belakang Ukraina ada negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang juga merupakan negara aliansi nuklir. Kiamat bisa terjadi kapan saja.

Tujuh puluh tujuh tahun lalu, sekelompok ilmuwan yang tergabung dalam The Manhattan Project berdiri terpaku di depan layar kaca besar. Mata mereka tak berkedip menyaksikan sebuah ledakan besar. 

Asap putih membumbung ke udara setinggi 14.000 kaki dengan puncak berbentuk jamur. Kota Hiroshima, Jepang yang begitu tenang pukul delapan pagi itu, seketika berubah menjadi neraka.

Sembilan puluh persen kota hancur, mayat bergelimpangan, ribuan warga kota menjerit kesakitan. Menyaksikan tragedi di depan matanya, fisikawan Prof J Robert Oppenheimer, pemimpin para ilmuwan, bergumam getir, ”Saya Jadi maut, penghancur dunia.”

Bom yang diledakkan hari itu bernama Little Boy, atau anak kecil. Tapi efek yang ditimbulkan bom itu sangat tidak kecil. Ledakan bom yang dibuat dari Uranium U235 itu menewaskan 140.000 warga kota Hiroshima seketika. Ratusan ribu lainnya menyusul tewas karena paparan radiasi atau panas, juga mengalami kebutaan atau kecacatan.

Tiga hari kemudian, satu bom lagi dijatuhkan di atas Kota Nagasaki. Kali ini bom itu dinamakan Fat Man, alias laki-laki gemuk. Terbuat dari Plutonium Pu239. 

Cukup satu bom, kota itu pun bernasib sama, mendadak jadi neraka. Sebanyak 40.000 nyawa melayang. Seisi kota hancur lebur, tak peduli bangunan rumah sakit, sekolah, markas militer, atau panti jompo. Semua rata dengan tanah.

Jepang semula tak paham bom jenis apa yang dijatuhkan oleh musuh mereka, Amerika Serikat, pada Perang Dunia II itu. Daya ledaknya luar biasa. Menghasilkan bukan saja energi panas yang sangat besar, namun juga kilatan cahaya yang membutakan, dan gelombang kejut dengan daya rusak tak terbayangkan.

Pasca kejadian itu, dunia pun baru paham jika bom itu adalah bom atom atau senjata nuklir. Jepang langsung menyerah kalah. Dan dimulailah tragedi kelam di Negeri Matahari Terbit itu. Penduduk kota Hiroshima dan Nagasaki harus menanggung penderitaan turun temurun akibat dendam perang.

Efek bom atom ternyata sangat panjang. Radiasi nuklir akibat ledakan merusak jaringan tubuh manusia. Banyak penduduk yang mendadak sakit berbagai macam kanker. Para ibu hamil melahirkan bayi-bayi cacat.

Bahkan bertahun-tahun kemudian, warga muda Hiroshima dan Nagasaki sampai sulit mendapat jodoh. Karena banyak yang takut menikah dengan mereka. Karena itulah, sebagai satu-satunya negara yang pernah menjadi korban nuklir, Jepang menyatakan jika senjata nuklir adalah sebuah kebiadaban. 

Penyesalan Einstein

Kedua bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki itu adalah karya para ilmuwan yang tergabung dalam The Manhattan Project. Sebuah tim ilmuwan bentukan Amerika Serikat yang bekerja secara rahasia. Tim ini dibentuk menyusul surat yang dikirim fisikawan Jenius kelahiran Jerman, Albert Einstein kepada Presiden AS Franklin D Roosevelt. 

Tags :
Kategori :

Terkait